micro - macro

Hari ini berita pelanggaran HAM lagi-lagi muncul. Kali ini kejadian di Pelabuhan Sape, Bima, Lombok. Polisi memberondong rakyat, yang dituding memboikot pelabuhan, dengan senapan laras panjang, bukan dengan arah vertikal sebagaimana layaknya peringatan tetapi demgan arah horizontal. Beberapa terluka, dipukuli, ditendang, dan ditangkap; 2 orang tewas. Kejadiannya 24 Desember 2011, tepat sehari sebelmu Natal. Latar belakangnya karena warga merasa tak pernah diajak negosiasi tentang rencana pendirian tambang emas di daerah yang tak jauh dengan perkampungan warga.

Pihak polisi mengaku telah melakukan negosiasi dengan warga pada 20 Desember 2011 dengan bukti beberapa foto dan video rekaman yang menunjukkan berpuluh Brimob berangkat naik sekitar 3 mobil Brimob dari markas dan turun dari mobil ketika telah sampai di lokasi sambil membawa laras panjang dan perisai anti peluru. Sebenarnya aku sangat heran, untuk apa polisi sebanyak itu dikerahkan dalam sebuah negosiasi, lengkap dengan senjata dan alat pengamannya? Jangan-jangan, benar apa yang disampaikan warga bahwa apa yang dilakukan pada tanggal 20 itu hanya sosialisasi, atau tepatnya, perintah untuk pengosongan area? Sebab, ketika wartawan datang mewawancara bupati yang menurunkan SK pemberian izin tambang emas itu, beliau bersikeras bahwa SK yang sudah turun tak dapat ditarik kbali atau dibatalkan jika tidak melanggar 3 hal. Jadi jelas SK sudah diturunkan dan negosiasi terlambat dilakukan.

Ketakutan warga menjadi traumatis sejak tragedi di Pelabuhan Sape terjadi. Ketakutan akan kehilangan tempat tinggal seperti kejadian yang belakangan marak diberitakan dari Mesuji, maupun Tulang Bawang, dan beberapa daerah lainnya; dan trauma akan tragedi berdarah yang menimpa rekan-rekan mereka maupun warga senasib di belahan Indonesia yang lain.


Inilah masalah micro yang terjadi belakangan ini: pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan oknum, dan perampasan tempat tinggal. Issue yang selalu berusaha dihembuskan adalah pendangkalan dan bias terhadap isu utama. Pendangkalan hanya sebatas pelanggaran HAM atau kekerasan aparat, dan bias ke sebatas masalah sengketa lahan. Orang sibuk mengurus cabang dan ranting masalah sehingga lupa akan masalah utama, memang itulah harapan pihak-pihak tertentu.


Jadi, masalah utamanya apa? Sebenarnya, malu juga mengutarakannya, mengingat bangsa ini sudah merdeka dari penjajahan bangsa lain, dan dengan lantang menyatakannya pada 17 Agustus 1945 silam. Kini, harus diakui, inti dari semua masalah yang terungkap belakangan ini adalah uang, dengan kemasan yang hampir menyerupai penjajahan. Ya, penjualan kekayaan alam bangsa dengan mengorbankan bangsa sendiri. Bagaimana kita harus mengatakannya karena kenyataannya tak jauh berbeda dengan kolonialisme? Atau, secara macro mungkin lebih baik kalau dikatakan bahwa bangsa kita sedang tergerus roda globlisasi dan pasat bebas? Bagiku tak jauh berbeda, toh hasilnya sama: kerugian yang diderita warga.

Tapi, bukankah penjualan atau penyewaan kekayaan alam ke bangsa lain akan mendatangkan devisa, dan devisa juga nantinya berguna bagi rakyat juga. Lalu apa salahnya?

Pertanyaannya akan berujung seperti pada tulisanku yang lalu.


Bagaimana pun, semua aksi solidaritas yng muncul di berbagai wilayah Indonesia, baik oleh mahasiswa maupun oleh masyarakat kebanyakan, sangat menyentuh nurani. Kesetentakan dalam beraksi ini memgingatkan kita pada aksi serupa pada Mei 1998 tentunya, atau aksi pada tahun 1966. Solidaritas dan kemauan untuk kepedulian adalah sebuah modal awal yang sangat potensial untuk sebuah perubahan besar. Dengan sedikit koordinasi dan kesatuan aksi, aku optimis sedikit lagi bangsa ini akan sampai pada titik itu lagi. Aku sungguh berharap. All my salut for you all!


Published with Blogger-droid v2.0.2

Comments