As a Secondhand Smoker, I Write This


Libur imlek kemarin, 22 Januari 2012 sore hingga 2 Januari 2012 sore, moment yang tepat bagiku untuk menikmati  masa kini -yang telah lama kulupakan- dan sejenak kembali naik angkot umum. Pengalaman menikmati kekinian ternyata terhalang juga oleh suasana tak nyaman dalam angkot umum di mana asap rokok dihalalkan berlalu lalang di sana. Aku tak begitu mengerti apa yang dipikirkan oleh para penumpang lain yang juga tak merokok di dalam angkot ini; bisa pasrah pada keadaan terpapar rokok, bisa juga karena sudah jengah melakukan beberapa kali perlawanan yang tak menghasilkan, atau turut menikmati paparan asap tersebut; yang pasti, hanya aku seorang yang menyatakan keberatanku secara verbal kepada yang bersangkutan –tidak lagi dengan kata-kata lamaku, “Tolong matikan, saya gak tahan asap rokok”, tapi sudah jauh lebih halus, “Tolong jendelanya dibuka semua, ada yang ngerokok”. Tanggapannya tentu heran dan dongkol dari sang pelaku; heran karena ada yang keberatan dan dongkol karena keberatan itu terucap eksplisit di depan banyak penumpang lain. Toh, sampai akhir ujung batang rokok, sang pelaku tak mematikan karena keberatanku, tapi karena sudah sampai di ujung. Pada perjalanan pulang pun, kejadiannya sama.

Pada satu dari sekian kali ganti angkot, kudapati pengalaman yang mungkin sebenarnya biasa ini, tapi bagiku cukup luar biasa: Seorang bapak setengah baya, kelihatannya baru pulang dari kerjanya sebagai tukang bangunan, sebelum masuk ke angkot di perempatan tempat angkot ini berhenti, buru-buru mematikan lalu membuang batang rokoknya yang masih panjang. What a nice attitude!

Dibandingkan dengan dua orang pendahulunya, maksudnya perokok-perokok yang kutegur sebelumnya, umurnya mungkin sudah dua kali lipat juga; dari segi pendidikan menurut tebakanku, juga lebih rendah bapak ini. Lalu apa yang membuat bapak ini mau dan rela mematikan lalu membuang rokoknya sebelum masuk angkot?


Banyak orang merokok dengan banyak motivasi juga: ikut-ikutan teman, demi diterima dalam pergaulan, membunuh sepi, mencari inspirasi, gengsi, untuk kesenangan semata, dan sebagainya. Pernah aku lakukan polling di sebuah media social network tentang hal ini, hasilnya sampai 4 aug 2011:
  • kebosanan: 10 org,
  • inspirasi: 7 org,
  • ikut mensejaterakan rakyat indonesia: 3 org,
  • menjaga suhu tubuh tetap hangat: 2,
  • kepengin bibir item: 2,
  • mengantuk saat menyetir: 2,
  • style/life style: 3,
  • mengurangi resiko kegemukan: 1,
  • menjaga ketrampilan jari: 1,
  • pengin suara serak: 1,
  • iseng: 1,
  • curhat pd diri sendiri: 1,
  • lapar: 1,
  • nggak ada teman: 1,
  • membuktikan bahwa rokok adalah pembunuh: 1

Dengan berbagai alasan, mereka telah memilih menjadi perokok aktif atau firsthand smoker. Mungkin hanya sebagian kecil dari mereka yang sempat memikirkan resiko yang akan mereka tanggung di kemudian hari karena pilihan itu, namun aku yakin, hanya 1 dari 100 yang sempat memikirkan dampaknya bagi perokok pasif atau secondhand smoker. Terbukti, rambu-rambu larangan merokok hanya berfungsi sebagai hiasan, kecuali di tempat yang diawasi dengan ketat; di tempat-tempat umum, angkutan umum, rokok juga tetap menyala; menyalakan rokok tanpa memperhatikan sekitar, kalaupun ada yang keberatan, reaksi mereka bermacam-macam, mulai yang dengan malu kemudian mematikan, mematikan dengan terpaksa, tetap merokok tanpa mempedulikan keberatan, sampai yang mengintimidasi orang yang menyatakan keberatan (yang ini yang paling sering aku alami dan sempat ku tulis dalam 2 ceritaku di blog ini: Cerita 1 & Cerita 2). See?


Bagiku, merokok itu hak, selama hak itu dijalankan tanpa menyinggung hak orang lain. Hak untuk menghirup udara bersih yang bebas asap rokok. Merokok di tempat di mana tak ada orang lain, atau di tempat di mana semua orang juga sedang merokok, bagiku fine-fine saja. Merokok di mana ada orang lain yang bukan perokok itu yang menjadi masalah, karena secara logika, hal tersebut sudah melanggar hak orang lain. Jumlah volume udara yang menjadi hak setiap orang memang tak pernah tertulis dalam undang-undang Negara mana pun tentu, tapi pencemaran di mana pun tetap mengganggu. Sempat ada impian arsitektur yang merancang ruangan khusus dengan cerobong untuk tiap orang yang merokok sehingga CO, CO2, ataupun gas-gas beracun lain yang dihasilkan dapat langsung disalurkan ke udara yang jauh dari orang lain. Kalau dalam pikiranku sih, untuk benar-benar adil, setiap orang diberi kapasitas udara dengan akurarium seperti pakaian astronaut, jika ingin merokok, silakan lalukan di situ juga, dan bakarlah hanya udara milikmu.

Ada juga perokok yang menyatakan bahwa mereka tidak merokok di mana ada banyak orang, ok, it’s just fine. Tapi jangan salah, dampak bagi secondhand ternyata tak hanya dibawa oleh asap pada saat orang tersebut melakukan kegiatan merokok. Pada setiap nafas yang dihembuskan, pakaian, dan benda-benda lain yang terpapar asap rokok, juga menjadi media yang pada kemudian hari akan mendatangkan malapetaka, kerusakan fungsi tubuh,  dan kematian yang paling parah. This is the new concept of thirdhand smoke
"Thirdhand smoke exposure is a new concept; it is exposure to many of the toxic agents in smoke that have accumulated (as residue) in clothing, drapes, rugs, furniture, dust, and other items due to secondhand smoke. The toxic agents, deposited in and on items from secondhand smoke, can be absorbed through the skin and mucous membranes of non-smokers, especially by infants and young children. Prevention of secondhand smoke exposure can prevent thirdhand smoke exposure."

Ada juga yang menjadikan alasan secondhand sebagai alasan untuk menjadi firsthand smoker: daripada dibunuh oleh asap rokok orang di sekitar, lebih baik aku ikut merokok. Bagiku, ini bukan jawaban, ini hanya pelarian rasa bersalah, such a coward. Let me show some analogies:
  1. Daripada menjadi warga Negara yang selalu jadi korban korupsi, lebih baik aku ikutan korupsi; atau..
  2. Daripada rumahku dirampok, lebih baik aku jadi perampok; atau..
  3. Daripada jadi pemakai jalan yang taat tapi selalu jadi korban para pelanggar lalu lintas, lebih baik aku ikut melanggar lalu lintas; atau..
  4. Daripada jadi orang baik yang selalu jadi korban orang tak baik, lebih baik aku ikut jadi orang tak baik.

Orang yang berpendirian, tak akan melepaskan idealismenya hanya untuk membebaskan diri sendiri dari kesengsaraan dan kemudian berbalik mendatangkan kesengsaraan bagi orang lain.

Bagiku, hidup adalah pilihan, setiap pilihan diaplikasikan dalam perbuatan, dan setiap perbuatan mengandung resiko, resiko dari perbuatan tersebut harus kita tanggung sendiri. Ngawur di jalan lalu celaka itu resiko, ngawur di jalan lalu mencelakai orang lain itu criminal; merokok lalu sakit sendiri itu resiko, merokok lalu membuat orang lain sakit itu criminal. Don’t make risk others because of your deed, it’s a crime. Be a real man!

Pranala luar:

Comments

  1. Menarik kakak tentang second hand smoke...
    Ada kok temen kantorku yang merokok dan akibat secondhandnya istrinya keguguran. Ga nyangka ak akibatnya sampai seperti itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. so tragic, ya.. dokternya yang bilang gitu? :(
      seperti tulisan di gambar ke-2:
      "passive smoke kills your dearest ones first" => not only "dearest one" but "dearest ones".

      Delete

Post a Comment

Please enter ur comment here...-.~