6 Agustus 2013
08.10 Berangkat dari camp di
sumber air sebelum Puncak.
Diawali dengan berpegangan
pada webbing merah yang sudah dipasang oleh Romo Sabas subuh itu, kami menapaki
sisa tangga kecil dari batu-batuan, memulai perjalanan mendaki menuju Puncak.
Jalan yang terus mendaki dan tak juga sampai membuat kami sempat hampir putus
asa, seperti saat mencapai mata air, namun masih terlalu pagi untuk menyerah.
Pohon-pohon pacing di kanan-kiri menjadi masukan ilmu baru karena Romo Eko
mengajarkan menghisap batang pohon tersebut, seperti menghisap batang tebu,
untuk merasakan manis atau kecutnya sari pohon.
09.15 Sampai Puncak Limas
dengan beban semua dibawa serta. Sempat berfoto ria dan menghabiskan sebotol
nata de coco-nutrisari hasil rampasan Mas Uwi dari Edo.
09.45 Berangkat dari Puncak
Limas ke arah Utara, menuju Candi Sekartaji. Sepanjang perjalanan ini, banyak
kami temui perdu rendah yang ternyata merupakan pohon blackberry. Buah merah
berasa masam dan buah hitam berasa manis.
puncak limas |
Batu gantung dan vegetasi di sekitarnya :) |
10.21 Tiba di Batu Gantung
sebelum Candi. Banyak batu-batu gunung besar kami jumpai di sini.
10.39 Tiba di Batu Celeng,
batu besar sebesar celeng :P
10.43 Tiba di Gerbang dan
Pelataran Candi Sekartaji (2 tumpukan batu di sisi kiri-kanan, batu-batu alas
pelataran, dan susunan batu lebih tinggi yang menyerupai pagar benteng rendah
di sekitar candi)
11.12 Berangkat dari Puncak
Candi Sekartaji ke arah Selatan, jalan melalui punggungan.
11.20 Berisitirahat di bawah
candi penjagaan selatan sambil menunggu Mas Petu yang terdeteksi sedang menuju
ke arah rombongan kami (berupa titik hijau yang berlari-lari mendekat).
12.35 Setelah berdiskusi
panjang dan membaca peta kontur lagi, kami putar balik kembali ke arah candi
dan turun melalui sisi belakang puncak Candi Sekartaji. Kemiringan turunan ini
mencapai 80derajat, dengan vegetasi semak perdu yang tak bisa dipakai untuk
serusutan.
Akhirnya kami mentok
terhalang jurang sedalam 20 meter di sisi tebing batu padas. Webbing merah
sepanjang 20m warna merah dikeluarkan. Carabiner Petzel milik Mas Petu beraksi,
dan sebenarnya, yang lebih beraksi adalah sang pemilik carabiner. kami
berdelapan menatap nanar jurang di bawah. Korban pertama yang turun adalah Ian,
langsung dengan membawa tas birunya, disusul Mas
Wasis dan Romo Sabas yang
galau mencari jalan yang tidak patah.
Tebing tempat praktek rapling pertama. |
Pengalaman pertama rapling
di medan yang sebenarnya ini membuat kami kaget. Ada yang terbentur padas pada
bagian kaki, ada yang terbelit webbing, ada yang berputar-putar pada tali
sehingga nyaris membentur batuan. Untung teman-teman gelombang awal tergolong
cekatan dan anti galau sehingga mereka turun dengan lancar, bahkan bisa
membantu teman-teman yang turun kemudian, terutama aku. Terakhir, Mas Petu
sendiri turun dengan cara mengikatkan diri pada ujung webbing yang satu, dan
mengulur webbing sisi lain dari yang terkait pada pohon acuan.
Dari padas tempat kami praktek webbing, jalan menuju kanan terus sambil menurun, menyisir tepian puncak Limas. Kami berjalan di atas rumput dengan mengandalkan kekuatan akar rumput saja, tak ada tempat berpijak. meleset sedikit dari akar rumput, jelas kami langsung meluncur turun ke dasar Limas. Kami berhenti sesaat karena jalan kami mengalami
terhenti karena menemui patahan pada bidang miring |
mbiling, yang ke-3 kalinya dalam hari itu :) |
Romo Eko masih sempat bergaya sambil berpegangan pada webbing. |
Kami semua kelelahan.
Rapling pertama kali sudah langsung hajar sebanyak 3 kali disertai berjalan
turun sekian jauh, membuat kami tak mampu lagi berpikir untuk mencari tempat
yang lebih datar daripada tempat yang akhirnya malam itu kami jadikan tempat
istirahat. Kami tidak mendirikan tenda, hanya meratakan sedikit tanah (meskipun
ternyata masih tetap miring) dan membuka flysheet, menutup sisi-sisinya dengan
semua jas hujan yang ada, dan membiarkan tas-tas tertumpuk di dataran agak di
bawah kami. Dapur di samping tempat untuk tidur juga merupakan dapur jebakan
karena jalan menuju ke sana dan sisi tepinya adalah lubang. Untunglah, kami
tetap bisa minum minuman hangat dan makan nasi beserta mie & kornet. Buah
juga masih tersedia. Makan sehat di lereng gunung, meskipun otak kami tak lagi
sepenuhnya sehat, hahahaha..
camp yang miiring di lereng yang juga miring :P |
7 Augustus 2013
07.15 berangkat turun lereng
10.15 sampai lereng, melihat
jalur
10.30 sampai di seberang
aliran sungai kecil, pindah punggungan. Ada gubug pemburu. Tanda-tanda
peradaban.
10.45 berangkat dari ceruk
gubug, memasuki hutan bambu dan pisang. Banyak juga tumbuhan pakis hutan dan
rotan hutan yang berduri panjang dan bersulur panjang.
13.15 sampai sungai agak
besar yang berkerakal dan membentuk laguna di tengahya. Makan siang kecil di
laguna lalu mengisi air secukupnya saja untuk bekal perjalanan.
Rm. Sabas mengadakan ritual di laguna sungai. |
14.15 berangkat dari sungai,
menyusuri alirannya sampai bertemu tempat landai untuk naik ke punggungan
berikutnya.
15.30 bertemu air terjun,
lalu kami naik dan sampai punggungan pertama setelah sungai. Mas Wasis dan Mas
Petu sudah menyeberang sungai ke-2 dan sedang mencari puncak bukit tersebut
untuk mencari arah sebagai patokan navigasi. Ian dan Mas Andec menunggu di
dasar sungai ke-2. Setelah Ian menyusul naik tanpa barang dan akhirnya turun
lagi dengan membawa berita, kami melanjutkan menyusul. Ternyata jalannya sangat
susah, pantas saja Mas Petu & Ian sampai berpegangan pada rumput-rumput
karena ternyata memang tak ada pijakan, kami hanya harus berpegang kuat pada
rumput dan meletakkan seluruh berat ke sana. Hal yang tak bisa masuk di
logikaku. Bagaimana mungkin tangan ini menahan seluruh beban itu dan
menggantungkannya pada 2 ikat akar rumput yang ada di genggaman tangan kami?
Sementara jalan begini curam, orang Jawa bilang "mlipir". Napasku
memburu, ketakutan sampai di ubun-ubun. Otak besar mengecil, otak kecil
menghilang, dan jantung lepas. Berulang kali Romo Sabas & Romo Eko menarik
tanganku untuk meyakinkan aku akan pegangan yang lebih kuat selain akar-akar
rumput. Tak adakah jalan lain?
Kami terus menapaki bukit
kecil yang curam ini, mencari tempat datar namun belum juga menemukan. Mas Petu
sempat terperosok lubang cukup dalam yang tertutup perdu-perdu dalam pencarian
itu, untungnya dengan sigap ia naik lagi. Posisinya agak di depan kami. Dalam hati aku bersyukur bukan aku karena aku
pasti tak sesigap itu dan pasti akan menyusahkan banyak orang. Menghindari
jalan tersebut, kami memutar melewati sebuah pohon tanggung yang tumbang dan
sebuah pohon besar yang menjadi jembatan sebuah lembah kecil. Romo Eko memilih
memutar lewat lembah kecil bawah pohon karena stamina yang sudah tak begitu
bagus dan ketidakyakinan akan dapat melalui sisi atas pohon sampai di seberang
dengan keseimbangan penuh.
Rm. Sabas narsis di camp bukit ke-2 |
Malam itu ditutup dengan
doa, sekali lagi dipimpin oleh Romo Eko karena Romo Sabas sudah lebih dahulu
tidur. Beberapa dari kami meninggalkan
sepatu dan kaos kaki di atas perapian karena tadi basah masuk ke air sungai.
8 Agustus 2013
Nyenyak tidur kami tanpa
berpikir akan merosot membuat kami agak lebih susah dibangunkan oleh Romo Sabas
pagi itu. Beliau harus membuat perapian dulu supaya kami tidak keberatan
meninggalkan sleeping bag kami yang hangat dan nyaman.
07.15 kami berangkat menuju
puncak bukit ke-2 ini. Jalannya naik lalu turun dengan terjal.
Aku dan Romo
Sabas pilih serusutan, yang membuat jalan di belakang kami jadi rusak.
Terpaksalah yang lain juga ikut serusutan, jadilah serusutan berjamaah :P Di
akhir serusutan itu, jurang. Rem cakram di pasang, dan aku hampir gagal. Untung
Mas Wasis turun ke sisi bawah untuk menahan pijakan sepatuku supaya tidak
meluncur jauh ke bawah. Kami berhenti sejenak di batu besar, memberikan welcome
nata de coco untuk yang baru datang, dan melihat hamparan lembah di bawah kami.
Puncak SLurup terlihat jelas di ujung sana.
Menatap turunan yang masih jauh. Bersiap untuk ngesot, lagiii... |
Kami turunnnn lagi, lalu
ternyata naik, terus, terus, dan terus. Aku hitung, lebih dari 4 punggungan
yang kami lalui. Benar-benar PHP. Kesabaranku hampir hilang, langkah kakiku tak
mampu menyamai langkah kaki teman-teman yang jauh lebih besar. Sebenarnya aku sendiri bingung marah kepada siapa, mungkin sebenarnya kepada diriku sendiri karena menjadi titik lemah dalam rombongan ini. Di jalan yang
terus mendaki dan hanya rumput ilalang pegangannya ini, aku terpaksa berulang
kali merangkak, melekakkan tumpuan dan berat seluruhnya ke lutut, menarik sisa
berat lainnya perlahan, baru berusaha bangun lagi untuk langkah berikutnya.
Begitu berulang kali, hingga tiba di cemara terakhir sebelum puncak gunung yang
dipasang bendera hitam, lalu berbelok ke kiri. Jalan ke arah kiri ini datar,
jalan setapak bekas dilalui manusia, menuju peradaban yang sebenarnya.
10.20 Akhirnya kami berhenti
di tanah datar tepat di bawah puncak berbendera hitam, menyantap buah terakhir
kami: jeruk, dan mendengar Mas Wasis bertanya, "Mana cukriknya", yang
spontan membuat kami semua tergelak. Romo Sabas menamai dataran ini sebagai
dataran Kalvari, mengingat perjalanan naik ke dataran ini yang sungguh
menyiksa.
Ian dan Mas Petu memasang bendera di Puncak Keber |
Pada salah satu dari sekian belas punggungan :) |
Menyusuri hutan. |
Mas Petu, pada batu di tempat pertemuan 2 sungai. |
Di batu tempat pertemuan kedua sungai itu, Mas Petu duduk menunggu rombongan yang baru datang, dan menginformasikan bahwa Ian dan Mas Wasis sudah naik dan sudah tiba di Camp Ngebrak atau Lembah Romusha, bertemu teman-teman yang berangkat dari Air Terjun Dolo. Sebagian teman-teman tersebut sedang dalam perjalanan menjemput kami di sungai ini.
Benarlah, tak lama kemudian, mas Suroso, Cak Ir, Edo, dan 2 orang teman dari Sanggar Sang Bodol, Kediri, muncul. Bak reuni keluarga yang lama tak berjumpa, kami semua sangat senang. Naik menuju ke Lembah Romusha rasanya menyenangkan, meskipun ternyata masih harus melalui 2 buah puncak dan sebuah savana, di mana sebuah gubug kecil berdiri. Di sana, beberapa teman dari sanggar juga sudah menunggu kami ternyata.
14.40 Setelah menuruni sebuah sungai kecil, kami sampai di camp Ngebrak, disambut
tangisan mbak Nia dan senyum kelegaan Romo Widya. Kami baru tahu, bahwa keterlambatan kami mencapai Camp ini telah sampai ke seantero penjuru dunia. Ketika tadi kami nampak di punggungan dan Cak Ir memanggil dari gubug, ternyata jawaban yang diperoleh dari arah bawah, tersebarlah berita bahwa kemungkinan rombongan kami terpencar jauh karena ada yang drop sehingga harus ada yang mendahului untuk mencari bantuan. Padahal, ternyata suara jawaban dari bawah adalah jawaban dari teman-teman di Camp sendiri, yang sudah lebih dahulu turun untuk mengecek keberadaan rombongan kami. Apa pun itu, kami sangat senang kembali ke peradaban manusia, bertemu teman-teman yang sangat merindukan kami, hehehe... Malam itu rasanya tak ingin tidur cepat, merayakan kemenangan bersama. Kami ternyata adalah rombongan manusia pertama yang berhasil menemukan jalan tembus dari Puncak Limas ke Lembah Romusha, dengan selamat, aman, sentosa.
Malam itu, kami tidak jadi misa, karena stola lupa dibawa oleh Edo, tetapi kami lagi-lagi doa malam bersama, dipimpin oleh Romo Widya.
Teman, memang mimpi mengajariku untuk terbang, tetapi gunung mengajariku untuk tetap menapaki bumi seberapa pun pahit kenyataan.
Terima kasih untuk semua persahabatan dan kebersamaan kita, susah dan senang, yang kita lalui bersama dalam canda dan tawa.
Salam satu bumi, satu hati^-^
Suasana riuh di Camp Ngebrak. Pestaa.. ^-^ |
tangisan mbak Nia dan senyum kelegaan Romo Widya. Kami baru tahu, bahwa keterlambatan kami mencapai Camp ini telah sampai ke seantero penjuru dunia. Ketika tadi kami nampak di punggungan dan Cak Ir memanggil dari gubug, ternyata jawaban yang diperoleh dari arah bawah, tersebarlah berita bahwa kemungkinan rombongan kami terpencar jauh karena ada yang drop sehingga harus ada yang mendahului untuk mencari bantuan. Padahal, ternyata suara jawaban dari bawah adalah jawaban dari teman-teman di Camp sendiri, yang sudah lebih dahulu turun untuk mengecek keberadaan rombongan kami. Apa pun itu, kami sangat senang kembali ke peradaban manusia, bertemu teman-teman yang sangat merindukan kami, hehehe... Malam itu rasanya tak ingin tidur cepat, merayakan kemenangan bersama. Kami ternyata adalah rombongan manusia pertama yang berhasil menemukan jalan tembus dari Puncak Limas ke Lembah Romusha, dengan selamat, aman, sentosa.
Malam itu, kami tidak jadi misa, karena stola lupa dibawa oleh Edo, tetapi kami lagi-lagi doa malam bersama, dipimpin oleh Romo Widya.
Teman, memang mimpi mengajariku untuk terbang, tetapi gunung mengajariku untuk tetap menapaki bumi seberapa pun pahit kenyataan.
Terima kasih untuk semua persahabatan dan kebersamaan kita, susah dan senang, yang kita lalui bersama dalam canda dan tawa.
Salam satu bumi, satu hati^-^
Whoaaa... keren!!!! *kangen Silvana*
ReplyDeletekangen patris jugaaa.... :*
Deletekapan mbolang bareng? hehehe.... :P
Aku ndak berbakat mbolang hehe... Tapi seneng jg inget jaman dulu kita ke Van Lith bareng naik bus malam, bobo di susteran; trus ke Tumpang bareng naik ojek hahaha... Kalo ndak sama Sil kayaknya ndak bakalan punya pengalaman begitu.. :D
DeleteAku ndak berbakat mbolang hehehe... Tapi seneng juga inget jaman dulu kita pernah ke Van Lith bareng naik bus malam trs bobo di susteran; ke Tumpang naik ojek... Kalo ndak sama Sil mungkin ndak akan pernah punya pengalaman itu :D
DeleteLoh, iya ta, Pat? Aku kira suka mbolang juga, hihihi...
DeleteHehehe, ga nyangka masih diinget2 tentang mbolang yang itu, senangnyaa.. ^-^
Mantab...
ReplyDeletesipp...
Deletekapan2 nembus jalur baru yg lain tapi ga segila ini, ya..
ini Lian, kan? *tebak2buahManggis*
februari kemarin aku juga ke limas, the most beautiful mountain that i ever hiked. bukan haya beautiful tapi dari gunung2 yg saya daki, disini kebesaran Tuhan atas kekayaan Indonesia benar2 ditunjukkan. Alhamdulillah juga gunungnya masih perawan, semoga gak usah diteliti dan jarang yg mau menjamah, biar tetep indah itu gunung, hehe. ngomong saya cuman target puncak limas, lembah romusha itu kemananya ya?? masalahnya pas dulu kesana itu waktunya mepet, ada yg mau ujian dsb. jd cuman 2 hari saja. hehe
ReplyDeleteya, keren banget memang, gan, kalau diperhatikan sebenarnya letusan gunung purba sangat besar.. yang sisa-sisanya kini membentuk pegunungan wilis dengan kaldera besar di tengahnya :)
DeleteWah, sayang, ya.. kalo nembus ke lembah romusha harus modal peta kontur dan bisa baca peta kontur, yang bisa baca peta kontur aja masih setengah mati itu, gan, hahaha...
Penelitian oleh orang yang cinta alam aku rasa perlu, gan, banyak sejarah yang perlu diungkapkan, termasuk sejarah pemilik candi di wilis itu. Mimpi jadi arkeolog dulu, tapi sepertinya arkeolog di Indonesia belum se-greget arkeolog di Eropa :(
Lembah Romusha itu arah ke Air Terjun Dolo, gan. Dicoba saja, keren abiz :)
mbak ini jadi nembus ke liman?
ReplyDeleteoya minta kontaknya mbak..
ReplyDeleteIni mas yoga, kan? Sudah dapat berarti ya, mas? hehe..
Delete