Sarasehan Anak Negeri METROTV, Februari 2012


RUNTUHNYA KEDAULATAN ENERGI

Dr. Kurtubi, pengamat perminyakan:
UU migas no. 22 tahun 2001 jelas-jelas merugikan Negara karena:
1.      Bertentangan dengan konstitusi
Penghilangan kedaulatan Negara karena system yang dipakai adalah B to G (business to government) dengan BPMigas sebagai pihak pemerintah, yang lansung berkontrak dengan perusahaan asin; tidak lagi B to B (business to business) seperti dulu saat PERTAMINA bertransaksi dengan perusahaan asing tetapi Negara tetap memiliki kedaulatan sebagai Negara di atas kekuasaan arbitrase.
2.      Terbukti merugikan Negara secara financial
3.      Pengelolaan migas Indonesia menjadi paling buruk di Asia & Oceania menurut Petroleum Survey tahun 2011 (urutan ke 114 dari 143 negara penghasil minyak, masih di bawah Timor Leste)
Penjelasan untuk no. 2 dan 3:
Penghasilan minyak dari tahun ke tahun anjlok sedangkan cost recovery (biaya produksi yang dikeluarkan oleh investor asing dan setiap tahun diklaimkan kepada pemerintah) tiap tahun naik padahal semua mesin sudah dibayar lunas oleh uang Negara pada tahun-tahun yang lalu. Bagaimana bisa naik tiap tahun? Karena di mark-up berapa pun, cost recovery itu tak akan ketahuan, mengingat BP MIgas adalah lembaga badan hokum Negara yang didesain tanpa komisaris, sehingga tak ada majelis wali amanat atau pengontrol, padahal dana yang dijalankan mencapai 100triliyun rupiah setian tahunnya. (Pembandingnya adalah rector universitas yang selalu dikontrol oleh Dewan komisaris padahal dana yang dipegang tidak sampai 10 triliyun rupiah per tahun)
Di samping itu, karena UU migas itu pula, pembelian minyak tak bisa langsung ke produsen, harus lewat pihak ke-3 melalui tender, sehingga lagi-lagi ada dana yang seharusnya bisa diefisienkan.
Ichsanuddin Noorsy, pengamat kebijakan publik:
Letter of Emitance: intinya tentang liberalisasi sector migas
Radiogram dari Washington membahas tentang:
1.      Pertamina dan korupsi
2.      PLN
3.      Mengatur kedudukan PERTAMINA
4.      Menyusun draft RUU migas
US Aid merupakan pinjaman dari US dengan perintah:
1.      Pentingna pengurangan subsidi
2.      Membantu beberapa universitas dan LSM agar menerima pencabutan subsidi dan masyarakat tidak marah
3.      Mengatur kerjasama dengan IMF dan PDD untuk melepas sector migas menurut mekanisme pasar bebas
Pinjaman dari IMF senilai 400juta US dollar dengan perintah:
1.      Cabut subsidi migas dan pangan
2.      Berikan bantuan agar masyarakat tidak marah
Berikutnya, pada Desember 2003, sebuah pinjaman dengan no 4712 DES IND, yang berlaku sampai 2008, juga mengamanatkan perintah yang sama persis.
Sebelumnya, ada beberapa UU:
1.      UU no. 22 tahun 2001 tentang Migas
2.      UU no. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
3.      Pada tanggal 15 Des 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Kelistrikan no. 20 tahun 2002
4.      Satu bulan kemudian, membatalkan pasal 28 ayat 2 UU Migas no. 22 tahun 2001 dengan revisi: harga harus ditentukan oleh pemerintah dan bukan diserahkan pada mekanisme pasar.
Ironisnya, kemudian muncul rancangan strategis BPH Migas dan ESDM (blueprint BPHMigas 2004 – 2020) yang isinya memberlakukan mekanisme pasar bebas pada sector energy paling lambat 2010.
Disusul UU no. 30 tahun 2007 pasal 7 yang isinya:
harga energy ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian dan penyediaan dana subsidi untuk masyarakat
Dalam dokumen dari National Intelegence Council jelas diminta:
            Cabut segera subsidi untuk energy dan pangan dan segera lakkan perbaikan perundang-undangan.
UU no. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan, yang tadinya sudah direvisi malah kemudian bermetamorfosis. UU ini berisi:
            Harga energy tunduk pada harga keekonomian, pemilik tidak boleh menjadi pemain.
Senada juga dengan UU Panas Bumi dan U Minerba yang isinya bahwa pemerintah berperan sebagai regulator, pengambil kebijakan, dan tak lebih tak kurang sebagai penguasa pertambangan; dengan kata lain pemilik tidak boleh menjadi pemain atau lepaskan sector ini kepada investor asing untuk dieksplorasi dan dieksploitasi, atau dalam bahasa hukumnya: “mari bangun system investasi yang sehat sehingga investor asing dapat berinvestasi”
Apakah kita sudah berdaulat dalam bidang energy kalau pada tanggal 1 Nov. 2010, Sekjen Oesidi mengatakan, “Sudah saatnya pemerintah mencabut subsidi BBM”?

Ibu Hendry Saparini:
UU no. 25 tahun 2007 menyebutkan bahwa 25% kekayaan alam untuk kepentingan nasional, sedangkan 95% boleh untuk investor asing.
Dengan kata lain, pemerintah menempatkan sumber energy Negara sebagai komoditas komersial (energy digunakan untk kepentingan ekonomi) dan bukan sebagai komoditas strategis (energy ditempatkan pada posisi strategis sesuai amanat pasal 33 UUD 1945).
Paradigma yang salah mengenai energy ini ditanamkan sehingga rakyat berpikir bahwa untuk mendapatkan energy pasti tidak bisa murah.

Effendy Gazali, pakar komunikasi:
3 karakter pemimpin skala internasional:
1.      Berani dating ke forum-forum diskusi untuk membela rakyat
2.      Berani terhadap pemimpin lain, bukan justru berani terhadap rakyatnya
3.      Berani berinvestasi untuk rakyat, contohnya: dalam kasus listrik prabayar dan converter minyak ke gas, seharusnya pemerintah dulu yang pakai.. bukan rakyatnya yang disuruh ikut listrik prabayar, masa rakyat yang lebih dulu berinvestasi?
Rm. Moeji Sutrisno:
Seharusnya kita bisa seperti bung Karno, tetap memegang Trisakti:
1.      Kemandirian politik
2.      Kemandirian ekonomi
3.      Kemandirian budaya

Ibu Sri Palupi:
Dampak ketidakdaulatan:
1.      Tidak bisa berpikir tentang solusi
2.      Hak rakyat sudah dipangkas sehingga haknya hanya sejauh raskin dan BLT
3.      Tidak punya harapan
Lain-lain:
Korporasi minyak asing yang sudah berinvestasi di Indonesia:
-          Chevron
-          Exxon mobile
-          Petronas
Ingat yang pertama kali menjajah Indonesia bukan Negara lain tetapi korporasi asing, yaitu VOC. Dulu kita mati-matian mengusir VOC tapi sekarang malah Negara kita seakan gandrung korporasi asing, tidak bisa hidup tanpa korporasi asing.
Politik harus diluruskan àpolitik yang berbasis kepada rakyat yang tidak dikendalikan kepentingan-kepentingan sehingga terjadi pengingkaran UUD’45.
Kalau tahun 1957 Indonesia bisa menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada jaman Pak Karno, mengapa sekarang SBY tidak memodifikasi kontrak dengan Freeport sehingga orang-orang Papua tidak seperti anak ayam mati di lumbung padi?


 notulensi dari youtube:

Comments