Keadilan bagi Seorang Pekerja Keras

Bagi seorang pekerja keras, keadilan itu bak impian masa kecil, benar-benar di awang-awang, ngaco, bunga tidur…dan tak tergapai..

Aku melihat bapak penarik gerobak sampah yang tiap hari bangun subuh, berkeliling mengambil sampah dari rumah ke rumah dengan beban yang berat, bau, dan kotor… apa mereka kurang bekerja keras?

Bandingkan jika dengan kerja sekeras itu, mereka berada di posisi pemegang modal, kecukupan secara ekonomi, pasti..rumah mereka bukan jalinan bamboo atau jajaran kardus bekas di tengah tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir, yang untuk menambah sedikit uang di saku masih harus memilah-milah sampah kertas dari sampah plastic untuk dijual lagi, hanya demi Rp. 800/kg yang berhasil mereka kumpulkan dan masih harus membawanya berberat-berat kepada pengepul.

Atau bandingkan dengan kerja sekeras itu, dengan posisi mereka sebagai seorang yang kenal dekat dengan seorang pejabat. Pasti mereka sudah bisa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah elite dan berkualitas di kota mereka.

Aku tahu, mengapa mereka tak pernah berhenti lama di depan sebuah rumah besar. Aku tahu, betapa akan tinggi mereka berharap dan betapa akan pedih hati mereka kembali ke realita hidup mereka. Jurang ini terlalu jauh..Apakah mereka kurang bekerja keras?

Pendidikan yang bisa menjadi jembatan jurang itu! Begitu kata-kata klasik yang sering kudengar saat aku masih duduk di bangku sekolah.

Pertama, ini hanya berlaku bagi golongan menengah ke atas, karena bagi golongan bawah, jangankan bersekolah, untuk hidup saja sudah susah.

Kedua, kalau seorang anak pandai saat dia sekolah, dia pasti berhasil dalam hidupnya? Dapat memperoleh kedudukan dan kesejahteraan yang lebih daripada mereka yang saat sekolah hanya bermalas-malas? Tidak juga. Banyak orang pintar yang tak dapat lebih baik, bahkan sebaik hidup teman sekelasnya yang malas-malasan. Lagi-lagi kembali ke pemilikan modal dan koneksi.

Keberhasilan karir sesorang tergantung tidak hanya dari IQ tetapi juga dari EQ. Oke, saya setuju. Tapi apakah jaminan bahwa orang yang memiliki IQ dan EQ tinggi pasti lebih berhasil? Lagi-lagi tidak. Seorang yang IQ dan EQ nya tak baik, tapi sudah lebih kenal dengan seorang pemegang posisi tertentu di perusahaan tertentu, bisa saja mendapat posisi yang sama sekali tak dia tak mengerti knowledgenya. Jadi, untuk apa IQ tinggi? Atau EQ baik? Dan untuk apa dibuka lowongan kerja untuk umum dengan criteria tertentu jika ada jalur koneksi seperti ini? Hanya akan memberikan sakit hati kepada orang-orang yang telah bekerja keras untuk mendapatkan posisi tersebut, bukan?

Maka, saya katakan sekali lagi bahwa keadilan itu hanya impian bagi mereka yang bekerja keras. Bukannya cynical , tapi inilah kenyataan. Kerja keras tak selalu berarti, kadangkala malah pamer kerja lah yang justru lebih ‘efektif’ mengelabuhi, sebagai salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan.

Keadilan adalah idelalisme, dan idealisme adalah mimpi. Jangan berharap lebih dari mimpi karena mimpi selamanya mimpi..

Surabaya, Jan 11, 2010

02.00 a.m.

Comments