Perjalanan tim Surabaya dimulai pukul 10.30 dari Pastoran Gereja Karangpilang, Jl. Kebraon I / 1 Surabaya. Menunggang avansa silver, kami berdelapan (Rm. Sabas, Indro, Rika, silvana, Devi, Herman, dan Arga) meluncur menuju Gereja Katolik Tumpang, basecamp malam sampai minggu pagi, di mana teman-teman dari Malang, Jakarta, dan Medan sudah tiba lebih dulu. Oh ya, barang-barang kami pun sudah berada di sana karena sebelumnya telah dipack dan dikirim bersama keberangkatan teman-teman Surabaya yang berangkat sore ke Tumpang.
Sekitar pukul 1 dini hari kami tiba. Teman-teman yang lain bergabung dengan rombongan yang sudah terkapar di aula gereja, sedangkan Rika, Devi, dan silvana mendapat sebuah kamar dengan 2 bed untuk tidur hingga pagi menjelang
Sunday, 27 June 2010
Pukul 6.00 sarapan telah siap, bumbu pecel dengan sayur kacang panjang, kobis, sawi, kangkung, tempe, telur, dan (mungkin) kerupuk. Ada dua orang ibu dari paroki setempat yang mensupply kami, bahkan membantu membereskan piring-piring kotor. Terima kasih, Ibu.
Sebagian mandi-mandi di sebuah kamar mandi utama dan 5 kamar mandi umat di bagian belakang gereja, sebagian membereskan barang-barang ke dalam tas, dan sebagian menyantap sarapan sehat yang tersedia.
Pukul 7.00 truk pengangkut para sapi yang akan dikembalikan ke hutan (bercanda, mann…:P ) di Ranu Pane telah datang. Barang-barang dalam carrier dan daypack segera dimasukkan lebih dulu. Sekarang, kami menunggu Romo Sabas yang harus memimpin misa di Gereja Lawang, menggantikan Romo wawan, yang ditarik untuk menggantikan Romo Sabas di Gereja Kebraon pagi itu. Semacam tukar tambah, lah..karena ukuran kedua berbeda jauh, kan?! Jadi ya tukar-tambah, hahahaha…
Sekitar pukul 7.30, truk berangkat menuju Ranu Pane, setelah sebelumnya kami berhitung, total: 31 orang, karena Frater Jose batal ikut.
Pagi itu, truk yang kami tumpangi tidak bisa melalui jalan yang biasa karena di daerah atas (maaf, lupa namanya) sedang berlangsung sebuah acara yang menutup jalan. Terpaksalah kami putar balik dan lewat jalan kecil di daerah Duwet. Pak driver mengeluh, kok bisa-bisanya jalan kabupaten ditutup hanya untuk acara pribadi, dan hanya untuk menunjukkan bahwa mereka cukup mampu menyelenggarakan sebuah acara besar sampai-sampai harus menutup jalan. Ooo, aku baru tau pola pikir ini ternyata berkembang di masyarakat daerah sekitar situ :D
Jalan lewat Duwet tak sebesar jalan utama yang dibuat oleh kabupaten. Lebarnya hanya sedikit lebih lebar daripada badan truk kami. Jadi, ketika kami berpapasan dengan mobil atau truk lain, wow, wow, wow…susahhh… Untunglah, Pak.. jagoan nyetir truk, jadi kami selamat tiba di Ranu Pane sekitar pukul 9.15.
Dingin, dan mendung. Itulah suasana saat pertama kalli kami tiba di Ranu Pane. Sudah banyak sekali hal yang berubah di sana. Aku sempat pangling pada danau ini dan kebingungan mencari Pos Perijinan karena sekarang telah banyak rumah dan warung-warung kecil di sekitarnya, ta k seperti Agustus 2004 lau, saat pertama kali kuinjakkan kaki di tanah ini.
Koordinasi mulai dilakukan. Perlengkapan bersama dicek ulang. Penempatan personil pada tiap tugas juga direvisi. 4 orang porter disewa dan barang-barang yang perlu mereka bawa pun disiapkan. Perlengkapan pribadi yang kira-kira hanya akan membebani, seperti hape dan chargernya, dititipkan, sedangkan alat-alat elektronik lain yang perlu dibawa naik dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik kecil supaya jika terjadi hujan tiba-tiba, alat-alat tersebut tidak rusak atau mengalamai korsluiting. Berhitung lagi! Dan sebelum berangkat, kami berdoa dipimpin oleh Korlap: Opung. Keberangkatan dibagi menjadi 3 kelompok: depan-bersama Romo Sabas-porter dan para pemula, tengah-bersama Opung-para ahli yang sudah terbiasa ‘ngalas’, dan terakhir-bersama Pak Ranu-penyapu (harus bawa sapu, nih.. :P ).
Sekitar pukul 10 kami meninggalkan Ranu Pane, menuju Ranu Kumbolo untuk bermalam di sana. Perkiraan tempuh waktu normal adalah 3 jam sedangkan waktu tak normal 5 jam.
Seperti banyaknya perubahan yang terlihat di Ranu Pane, begitu juga banyaknya perubahan yang terlihat dalam perjalanan menuju Ranu Kumbolo ini. Sepertiga dari keseluruhan jalan setapak yang dilalui telah diberi paving, tidak seluruh lebar jalan setapak memang, hanya setengahnya, tapi cukup membantu apalagi pada ruas-ruas jalan yang biasaya licin saat setelah turun hujan seperti sekarang. Yang lebih bagus lagi, sudah ada pos-pos beratap untuk tempat istirahat para pendaki. Pos pertama masih tetap di Watu Rejeng. Bagian yang datar diperluas, pos yang cukup besar dengan view yang bagus pun didirikan. Beratap sejenis seng, dicat hijau. Pos kedua tak bernama, dan tak begitu spesifik pula tempatnya, sehingga susah untuk dideskripsikan dengan kata-kata, mungkin seharusnya dengan ukuran jarak dari pos Watu Rejeng? Tapi yang pasti, setelah jembatan kayu kecil, yang masih ada namun sudah sangat lapuk sehingga tidak disarankan untuk berpegangan pada tepiannya. Pos ketiga berada tepat sebelum percabangan jalur yang datar dan yang menanjak. Dan terakhir, pos keempat, di tepi Ranu Kumbolo, tepatnya di di bagian baratnya, di mana sebuah pohon edelweiss dan pohon arbey merah tampak tumbuh subur. Mau foto-foto dulu? Boleh..bagus kok, view dari sini
Kloter terakhir tiba di Ranu Kumbolo, 2400 DPL, pada pukul 15.50. Alhasil, nasi bungkus dengan lauk mie instant & telur dadar pun bergeser menjadi santap siang sekaligus malam kami. Tenda-tenda pun mulai digelar, begitu juga plastic-plastik dan alas lain, kalau perlu rumput kering-sehingga serupa palungan kanak Yesus- yang digelar di 3 kamar pada pondok atas. Tak lama, rapat koordinasi dan evaluasi diadakan di salah satu kamar di pondokan. Pembagian kerja tiap posisi dan perubahan rencana tempat kemah besok-dari Arcopodo pindah ke Kalimati-mengingat berita yang kami terima dari teman-teman yang turun dari puncak, ‘Cemoro Tunggak ke atas badai’ dan posisi air yang lebih jauh mengingat rombongan kami yang besar.
6 p.m. waktu Indonesia bagian Ranu Kumbolo, pada suhu 12o C sebuah misa digelar dengan dipimpin oleh Romo Sabas, diasisten oleh Frater Endro. Misa pertama kami dalam suhu sedingin ini, namun tetap khidmat. Intensi sore itu adalah untuk perjalanan kebersamaan kami dan untuk arwah orang-orang yang telah mendahului kami menjajaki Mahameru ini.
Malam itu, bulan bersinar penuh, beberapa gugus bintang pun tak mau kalah, walau awan masih mengintai dan akhirnya melebur menjadi butir-butir hujan yang turun sekitar 11 p.m. Namun tak jadi soal, karena kami telah sempat mencicipi gurih seekor ikan nila hasil pancingan bapak-bapak porter, yang kemudian dibakar pada nyala api unggun dari sebatang pohon berkayu sepanjang 1,8 meter yang juga mereka potong dan pikul sore tadi dari sisi timur ranu.
Monday, 28 June 210
Menu pagi ini nasi, sayur lodeh isi wortel, kobis, tempe, ikan asin kecil, lauk ikan pedo dan desert nata de coco, ala chef maman, hahaha…
Setelah semua tenda dan barang dikemasi, 9.15 berangkatlah rombongan lewat tanjakan cinta, waahhhh…berat…Dari akhir tanjakan cinta, rombongan terpecah 2, rombongan depan lewat lereng bukit bari turun ke Oro-oro Ombo, rombongan belakang langsung turun menuju Oro-oro Ombo.
Oro-oro Ombo..sebuah padang ilalang luas di antara perbukitan sekitar puncak Mahameru.. ilalang yang berbunga warna ungu tumbuh subur setinggi tubuh manusia dewasa. Anda mau bikin video klip? Di sini tempatnya… dijamin puas! Ditutup dengan padang savanna, Oro-oro Ombo mulai berubah menjadi semak belukar dan pohon-pohon berkayu, memasuki hutan, yang sedikit demi sedikit menanjak dan panjang, seakan tak berakhir-akhir jua. Akhirnya? Tibalah di tempat bernama Jambangan. Papan nama Jambangan sudah tumbang, rebah di tanah, entah di mana tiangnya. Di depannya, sebuah papan kuning yang tampak relative lebih baru masih tegak berdiri, berisi rute perjalanan dari Ranu Pani hingga puncak Mahameru. ‘Jangan keluar dari jalur pendakian’, demikian pesan tertulis pada bagian bawah papan tersebut.
Jambangan lebih nampak seperti terumbu karang di daratan, dengan rumput-rumput setinggi lutut dan rumput keras berduri, dan latar belakang puncak Mahameru yang nampak indah saat kabut sirna dari pucuknya. Di beberapa bagian, Jambangan diisi oleh pohon-pohon kayu berlumut tebal, dengan cabang-cabang yang artistic seperti pada film Lord of The Ring. Sayang, tak ada satu pun foto yang kami ambil dengan latar belakang hutan ini.
Akhir Jambangan ditutup dengan hutan kecil yang jalannya menurun, menuju padang pasir ber-rumput kering: Kali Mati. Pondok pendaki dengan atap seng kuning, yang sebagian potongan atapnya terburai pada padang pasir, nampak menyambut. Pukul 12.35. Tenda pun dipasang lagi. Dua orang bapak porter harus mengambil air ke sumber, yang berjarak setengah jam perjalanan dari padang kemah, dengan botol-botol kosong dan kayu untuk perapian.
Chef Maman beraksi kembali. Makan siang bagi rombongan yang kelaparan seusai perjalan panjang ini. Masih menu yang sama, minus desert
Rapat koordinasi lagi-lagi digelar, sekitar pukul 2. Pendakian ke puncak akan dilakukan malam ini, mulai pukul 12 atau supaya tak tergesa-gesa, setengah 11. semua perlengkapan yang tak perlu lebih baik ditinggalkan di tenda, bawa saja snack, air minimal 1.5 liter, senter, baju hangat, dan raincoat. Siang ini, usahakan tidur sudah dengan pakaian lengkap plus sepatu, kalau perlu, sehingga saat dibangunkan oleh Opung malam nanti, tidak lagi perlu bingung.
Kwasan tenda mulai sepi, masing-masing sibuk dengan persiapan pribadi, tas-tas kecil, dan raincoat. Berusaha untuk tidur siang, mengumpulkan tenaga untuk pendakian malam. Toh, tak berapa lama, kesunyian mulai terkoyak. Susah juga memaksa tubuh tidur pada jam biologis yang tak semestinya. Maka sebagian ngerumpi, sebagian masak mie, the hangat, kopi, dan menghangatkan tubuh di sekitar tenda, karena sore itu gerimis juga masih ngotot turun. Baru sekitar pukul 6 p.m. tubuh yang kelelahan bisa diajak berbaring, namun tak lama, karena tiba-tiba saja waktu berjalan cepat dan pukul setengah 11 tiba. Brangkat, cuyy…
Maka, dengan bekal masing-masing, kami berkumpul melingkar di depan pondok pendaki, berhitung untunglah, malam itu cuaca berpihak pada kami: bulan purnama-tanpa hujan. Doa sebelum perjalanan dimulai, karena kami merasa, kali ini perjalanan kami tak lagi main-main. Rombongan dibagi 3 kelompok seperti biasa: depan dengan Romo Sabas, tengah dengan Opung, belakang dengan Pak Ranu. HT diberikan kepada tiap kelompok. Webbing 8m dan 16m dibawa, sebuah di kelompok depan, sebuah di kelompok tengah. Jarak antar kelompok dibuat lebih rapat.
Rute perjalanan tengah malam ini diawali dengan jalan di antara rumput-rumput kering pada padang pasir, hingga bertemu jalan bekas lava yang turun, menuju ke aliran kali mati (sungai yang tak lagi berair). Di seberang kali sana, hutan telah menunggu. Jalan setapak yang menanjak penuh dan banyak melewati akar-akar pohon besar. Benar-benar melelahkan dan gerah, apalagi kami telah berpakaian tebal plus raincoat untuk persiapan hujan. Banyak tonggak besi berrantai atau malah kadang hanya dengan tali raffia, menandai batas tepi jurang, sisa jalur pendakian lama yang telah longsor dan kini berubah jurang dalam. Konon, Andhika, mahasiswa UGM yang mendaki beberapa bulan lalu, jatuh pada satu dari antara jurang-jurang ini, pada malam berkabut dan terpisah dari 3 teman pendakinya.
Pos pertama adalah pos 16m dari Arcopodo, kami capai pada pukul 11 malam. Tempatnya cukup lapang sehingga seluruh rombongan berkumpul dahulu dan berhitung sebelum menuju Arcopodo yang sesungguhnya. Arcopodo yang sesungguhnya tak jauh dari pos bayangan jadi kami malah tak berhenti untuk beristirahat lama, hanya sebentar untuk melepas lelah, sampai tiba di batas vegetasi terakhir: Kelik, di mana tepiannya sudah jurang dan beberapa nisan nampak terukir di sana. Sempat ada signal dari beberapa operator yang bisa tertangkap oleh ponsel kami, namun hanya lewat, sebatas menerima dari luar sayangnya susah mengirim ke luar. Rombongan berkumpul lagi dan berhitung. Kali ini pertemuan terakhir, sebab setelah ini, sepertinya maut mendekat.. ada rasa sedih menyisip di relung.. Teman, semoga kita masih bersua di puncak..
Tikungan tajam lewat tepi jurang di sisi kanan dan akar pohon di sisi kiri menghantar kami ke Cemoro Tunggal, cemara terakhir sebelum GUNUNG yang melulu pasir dan batu. Pesan yang harus kami ingat: jangan bertumpu pada batu, karena banyak batu labil yang jika sampai jatuh akan membahayakan anggota rombongan yang berada di bawah. Kesepakatannya, jika toh akhirnya batu terlontar jatuh, orang yang menginjak harus memberi peringatan kepada rombongan di bawahnya.
Perjalanan mulai bisu. Masing-masing sibuk mencari pijakan dan pegangan. Perlhan-lahan tapi pasti, jarak antara rombongan terdepan dan terbelakang semakin jauh. 15 menit dari Cemoro Tunggal, tampak Opung malah bergerak turun. Ternyata mengantar Mas Panji yang terpaksa tidak bisa lagi melanjutkan pencapaian ke puncak karena masuk angina yang parah. Untung di Arcopodo ada sebuah tenda yang kosong sehingga untuk sementara, sampai sang pemilik tenda datang, Mas Panji dapat numpang istirahat di sana. Setengah jam kemudian, pasir mulai menipis. Susah mencari pegangan karena batu-batu makin labil dan lapisan pasir yang tipis (di bawah lapisan pasir hanya lapisan tanah keras yang susah diubangi untuk pijakan). Kami benar-benar merangkak dan merayap, dengan kaki dan tangan, kadang dengan lutut. Seperti tak juga berakhr perjalanan ini, kami mulai putus asa, apalagi rombongan terdepan yang sangat jauh di atas tak sedikit pun menoleh kepada kami yang di belakang. Hingga saat mentari mulai menyembul di sisi kiri kami, harapan kami pupus, ironis. Kami mempertanyakan makna kata-kata yang sempat diucapkan Romo: kita bersama-sama sampai puncak, itu bedanya naik gunung sendiri dengan naik gunung bersama teman-teman. Benarkah??
Tak lama kemudian, tampak Opung dan Pak Ranu di bawah sibuk membantu Ami yang sudah tak mampu naik lagi. Akhirnya, webbing yang dibawa dikeluarkan. Wawan bergerak naik dan mencari batu untuk anchor. Beberapa kali hal ini dilakukan dengan sesekali mbak Rika, Devi, dan aku ikut naik dengan bantuan webbing. Kasihan juga Wawan, harus menarik 4 orang sendirian. Lebih ironis lagi, sebagian rombongan depan turun. Dengan kecewa, kujabat tangan mereka dan berkata lemas, “ Saya kira sampai di puncak sama-sama, Pak, kok malah turun duluan?”. Yang kujabat membalas santai, “Kami kan harus pulang hari ini juga”. Mau apa lagi? Akhirnya, melalui HT, Pak Ranu menghubungi HT wedhus1 untuk meminta bantuan, menggantikan posisi Wawan sebagai anchor. Beberapa teman nampak berlari turun dengan membawa kamera, handycam, dan tas-tas kecil. Sekarang Romo Sabas yang jadi anchor, Bram membantu menarik setengah jalan sehingga webbing bisa dipakai langsung 2 orang. Teman-teman yang lain lebih di atas sedikit dan memberi semangat untuk segera sampai di atas. Sebagian salah sangka dengan membawakan barang teman yang membantu, dikira mau turun tapi barang tertinggal :P Whatever, thanks a lot teman-teman yang setia membantu dan menunggu kami hingga sampai puncak.. kuhapus pertanyaanku saat mentari terbit tadi. Inilah arti kata-kata itu! Salam, daratan tertinggi di Pulau Jawa! Salam Soe Hok Gie, Idhan Lubis, dan teman-teman lain yang nisannya terukir di sini.
Comments
Post a Comment
Please enter ur comment here...-.~