Preambule
Tak
sengaja melihat halaman depan Kompas hari ini, Sabtu 17 September 2011, Ekspedisi Cincin Kompas dengan tujuan akhir Gunung Tambora, Flores, NTB.
Semangat itu tiba-tiba membuncah lagi, magis yang selalu menyihirku, setelah
sempat berhibernasi sekian lama karena banyaknya aktivitas dan sudah ada
teman-teman yang mengabadikannya dalam tulisan dan gambar, aku mau menulisnya
lagi! So, here it goes ^^
Kami
ber-40 orang, begini detailnya:
·
Rombongan backpacker berangkat pada tanggal 26
September 2011 pukul 15.00 dari Stasiun Gubeng, Surabaya . Naik kereta ekonomi sampai Banyuwangi, lanjut ke Pelabuhan Ketapang untuk menyeberang ke Pelabuhan Gilimanuk, menempuh perjalanan darat (colt) sampai Pelabuhan Padang Bay untuk menyeberang ke Pelabuhan Lembar. Total 6 orang.
·
Rombongan bus-er (via bus maksudnya-Red)
berangkat pada tanggal 27 September 2011, berkumpul pukul 10.00 di Pastoran
Paroki Santo Paulus, Juanda-Surabaya. Total 18 orang.
·
Rombongan fly-er (terbang dengan pesawat-Red)
berangkat pada tanggal 28 September 2011 pukul 17.55 dari Bandara Juanda namun delay sampai pukul
20.00an WIB. Pesawat Boeing 737 ini pun mulai berjalan pelan di atas lanasan
pacu, setengah jam berlalu, dan tiba-tiba pesawat berhenti-bukan lepas landas
seperti harapan kami. Kanan pesawat saat itu adalah kolam-tak jelas kolam apa,
namun tampak seperti kolam pancing karena dilihat pada malam hari- membuat kami
makin was-was apakah mesin pesawat benar-benar telah bekerja dengan baik. 15
menit kemudian, pesawat baru mulai berpacu lagi, dan akhirnya take-off dengan
agak terpaksa. Alhasil, kami sampai di Bandara Selaparang, Mataram pada pukul
21.30 WITA. Belum terlalu malam memang, tapi waktu untuk menunggu barang-barang
bagasi keluar, ditambah sebuah bagasi berisi obat-obatan-yang sempat berkasus
saat mengambil barang bagasi, membuat penantian kami baru berakhir pada 22.30
WITA (sekali lagi, Mataram termasuk daerah waktu WITA). Dari Bandara
Selaparang, kami langsung naik taxi ke Gereja Maria Immaculata, Jl. Pejanggik
37 Mataram, dengan ongkos Rp 40.000/ taxi. Tiba di gereja pukul 23.00 dan
mendapat sambutan teman-teman di Mataram dan teman-teman lain yang sudah lebih
dulu sampai di Mataram. Senangnyaa…
Sudah
malam memang, tapi koordinasi tetap harus dilakukan. Besok petualangan dimulai
pukul 05.30. Kami berkumpul di aula lantai 2 gedung gereja. Romo Diosesan Sabas
Kusnugroho, pemimpin rombongan besar ini, memulai koordnasinya. Ceklis
perlengkapan tiap kelompok, mengingatkan kebutuhan pribadi yang perlu dibawa-termasuk
fotocopy KTP yang belum, teknis keberangkatan besok pagi, dan terakhir sharing
dari Pak Gorys, seorang umat local yang selama ini membantu kami dalam hal
survey tempat & harga, penyediaan transportasi dan porter. Sekedar info,
Pak Gorys dulu bekerja di Pos Perijinan Sembalun, jadi dia sudah berpengalaman
dalam hal pendakian ke Rinjani, terutama melalui pintu Sembalun. Kami dapat
tambahan peserta dari Mataram, Happy-teman dari Oya dan Paul, yang memang sudah
mendafar lebih dulu, jadi total rombongan menjadi 41 orang. 7orang teman sudah
menginap di Sembalun malam ini dan akan bertemu esok di Pos Perijinan Sembalun.
Koordinasi malam berakhir pada pukul 12.30.
Beberapa
teman masih meneruskan kegiatan packing kelompok maupun pribadi, namun sebagian
langsung tidur, mengingat perjalanan besok bakal dimulai pukul 05.30.
Monday, 29 August 2011
04.30
kami dibangunkan oleh Romo untuk
bersiap-siap. Meski ngantuk masih menggelayut, beberapa dari kami menyempatkan
mandi, sementara yang lain merasa cukup membasuh wajah dan gosok gigi. Kamar
mandi yang tersedia memang cukup banyak, 5 buah, tapi tetap saja kami harus
mengantri, hahaha… Tak lama kemudian 2 mini bus datang dengan disertai Pak
Gorys. Begitu pula dengan 4 kresek nasi bungkus, yang akan dibagikan tiap orang
2 bungkus, untuk bekal makan pagi dan siang kami hari ini. Carier-carier yang
sudah di pack, glangsing yang disiapkan untuk para proter, dan daypack yang
sudah siap, dinaikkan ke atap mini bus.
05.33 kami ber-34 berangkat dari
Gereja Santa Maria Immaculata Mataram dengan 2 mini bus dikawal Pak Gorys yang
mengendarai sepeda motor. Melewati Penijuhan: kampung bali dgn mayoritas hindu: di mataram. Pemandangan masih tertutup pekatnya malam meskipun
waktu telah menunjukkan pukul 06.15, mungkin karena penetapan WITA terlalu
timur untuk pulau ini, belum layak menjdai sesiang itu karena keharusan akan
aturan pembagian waktu. Sempat terpikir, bagaimana anak-anak di pulau ini bisa
bangun di pagi buta untuk pergi ke sekolah dengan kondisi yang masih gelap. Yah,
mungkin kalau terbiasa, itu tak jadi masalah juga sih..
Sekitar pukul 7.30 baru Nampak jelas
semua keindahan suasana desa di kiri-kanan jalan raya yang kami lalui. Sempat
berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar untuk minta ijin, tapi ternyata
bukan ini Pos Perijinannya. Ini hanya rumah kepala desa setempat. Oohh…
Jalan yang kami lalui sampai di tepi
sebuah bukit di sisi kiri dan jurang di sisi kanan. Kalau tak salah ingat,
namanya Pusuk Sembalun. Pemandangan yang indahh… maka berhentilah 2 mini bus
kami di sana untuk sekedar memuaskan mata para penumpangnya. Udara dingin dan angin yang menderu keras
membuat kami menggigil, meskipun mentari bersinar terang. 2 pondok kayu berdiri
di tanah lapang di tepi jurang. Kami sempat mengambil beberapa foto di sana,
menyapa beberapa ekor monyet, lalu melanjutkan perjalanan.
08.49 kami sampai di Pos Perijinan
Sembalun. Tiket per orang Rp 5.000 untuk pendaki local dan Rp. 150.000 untuk
pendaki mancanegara. Sebagian teman mulai menyantap bungkusan pertama nasi yang
dibawa dari gereja. 3 porter bersiap, dan 6 karung (glangsing) diulurkan, serta
3 pack rokok. Porter mulai mengeluh, beberapa pemain di luar pagar memanas-manasi
dengan komentar-komentar bernada sinis, intinya porter keberatan dengan beban
yang dibawa: minta tambahan ongkos per hari jadi Rp. 200.000/orang/hari atau
minta tambahan porter seorang lagi. Tak adil buat kami karena kami merasa beban
sudah kami timbang, sayang, tak ada neraca untuk mengukur massa secara objektif
sehingga subyektivitas lebih berperan di sini. Kami mengalah, mengurangi beban,
terutama air dan bahan bakar (spiritus dari kelompok Diaz). Beban-beban yang
keluar ini lalu dibagi-bagi ke beberapa teman yang masih mampu membawa beban
lebih. Rupanya proses lobbying dalam crach kecil dengan supporter luar ini
cukup memakan waktu. Kami baru bisa beranjak dari Pos Perijinan pada pukul
10.01, setelah sekitar 3 menit sempat membuat sebuah lingkaran besar untuk
berdoa bersama dan membagi tugas PIC di depan (yang sudah pernah ke Rinjani
tentu saja), PIC di tengah, dan PIC di belakang sekaligus sebagai penyapu.
15 menit kemudian, beberapa orang
mulai kebingungan. Bagaimana tidak? Penunjuk jalan tak berada di posisi dan
beberapa kali, teman-teman di depan telah bertanya kepada penduduk sekitar,
namun toh akhirnya sampai di tempat tak berpenduduk, dan para porter sudah jauh
di depan dengan menumpang 3 motor. Hanya ada sebuah percabangan: sebuah jalan
lurus dan sebuah mengarah ke kanan, agak naik, dengan sebuah gubuk berdiri di
tepi. Pesan dari penduduk yang terakhir dijumpai, pertigaan belok kanan. Kami
yang di depan ragu-ragu sehingga akhirnya menunggu rombongan di belakang sambil
berteduh di gubug yang sedikit berbau kotoran kerbau dan timbunan jerami. Sebagian
membuka biscuit dan sebagian makan nasi bungkus bekal yang belum sempat
disantap di Pos Perijinan tadi.
Penunjuk jalan yang diharapkan baru
muncul di belakang, hampir terakhir. Alhasil, formasi awal buyar. Setelah tahu
jalur yang benar adalah lurus, beberapa yang mau jalan di depan berjalan lebih
dulu sementara yang lain beristirahat sejenak (dan dua jenak mungkin :P). Jalanan
masih berupa jalur selebar sebuah truk dengan ladang di kiri kanan. Sempat
Nampak tumpukan tomat di sisi kiri, sangat menggiurkan, merah merona, ahay.. hahahaha…
Habis sudah jalan tanah berdebu
selebar truk, berganti jalan setapak dalam hamparan savanna yang tak bertepi,
naik, naik, naik… sedikit turun, naik lagi, tak habis-habis rasanya. Sejauh-jauh
mata memandang, yang tampak hanya hamparan rumput dan rumput, naik dan turun. Sempat
turun jauh, melewati jembatan beton, seakan-akan kami akan menuju ke pemukiman
penduduk kembali, namun ternyata naik lagi. Yah, begitulah, setiap kali kami
berjalan turun, firasat buruk pasti terjadi: kami harus sedikit mendaki naik. Tentu
saja, karena logikanya, gunung bukan di bawah tapi di atas :P Kalau orang
menyebut Mataram sebagai kota seribu mushola, mungkin pantas kami menyebt
Rinjani sebagai gunung seribu bukit, tak ada habisnya. Bahkan tempat berteduh
pun tak ada. Sempat kami terduduk pasrah di bawah satu-satunya pohon rendah
yang berdiri di hamparan savanna. 2 teman yang sudah lebih dahulu duduk pada
penemuan tempat strategis ini menyebutnya pos dasadarma pramuka, halah.. masih
ingat aja sama yang namanya Pramuka :P Beberapa bawah bukit kami lalui, kami
biasa menempel di ceruknya untuk sedikit berteduh dan melepas lelah, beberapa
teman bahkan sempat tertidur pula di sana, namun.. beberapa ini mengandung
ketidakpastian akan berapa ceruk dan punggungan bukit lagi yang harus kami
lalui. Sebuah bekas sungai, atau mungkin lebih tepatnya lembah bekas lewatnya
lahar, juga menjadi salah satu tempat perhentian kami. Dari sungai lahar ini,
kami bisa melihat puncak beberapa bukit dan berteduh. Beberapa teman membuka
bungkusan kedua-makan siang- di sungai lahar ini, bahkan ada pula yang sempat
membuat kopi.
14.00 sampai Pos 1, akhirnya. Berupa sebuah gubuk dari kayu dengan lantai yang naik 50cm, atap dari seng yang Nampak baru diganti (sisa seng lama masih teronggok lesu di depan gubuk yang sekarang berdiri), semua dalam balutan warna hijau tua. Benar-benar perhentian untuk menarik nafas sehela-dua hela. Seorang teman dari rombongan depan tiba-tiba terserang kram di sana sehingga porter tambahan dipanggil sementara carier diistirahatkan sementara di Pos 1 tersebut.
“Pos 2 yang mana, Pak”, beberapa dari kami bertanya kepada para porter. “Itu, yang ada asapnya agak di atas itu, 1 jam dari sini”. Dekatt… batin kami. Kami lupa, catatan waktu itu untuk porter, bukan pendaki amatir sejenis kami L
Ada sumber air di pos 2, harapan hidup kami karena air yang ada pada kami saat itu sudah kritis. Yah, kalau bertahan 1 jam, masih mampu lah..
15.25 sampai Pos 2. Papan penanda pos telah lapuk dan hampir tak kelihatan. Berupa jembatan di atas sungai, di balik bukit, sehingga pekatnya surya yang membakar terhhalang tinggi bukit ini. Suara gemericik air memang terdengar sayup, namun tak juga Nampak aliran air itu. Air kami habis, benar-benar tak bersisa, mana mungkin kami bisa melanjutkan perjalanan tanpa air? Beberapa porter memang sejak pos 1 sudah meminta target kami hari ini diturunkan sehingga menginap saja di pos 2 dengan alasan mungkin tak bakal sampai pos 3 dan sumber air ada di pos 2. Nyatanya? Sumber air di sungai ini kering… Untunglah, porter lain tahu letak sumber air yang masih mengeluarkan air di saat kekeringan ini. Mereka naik ke balik bukit, dengan seorang teman yang ingin tahu letak sumber itu, dengan membawa beberapa botol 1,5liter dan jerigen. 10 menit kemudian mereka kembali, membawa air dalam botol-botol dan jerigen. Air dingin sedingin air dari kulkas, meski tampak 1-2 ekor jentik-jentik di sisi bawah, yang segarnya langsung mengusir pergi dahaga kami. Oke, we’re ready to go, kira-kira begitu yang terlintas di benak saking segarnya air itu.
Diperlukan minimal 2 orang untuk mengambil air dari sumber air di balik bukit. Air ini berada di dalam genangan yang dalam, semacam sumur. Jadi seorang harus berada di permukaan tepi, sedangkan yang seorang harus agak turun masuk untuk mengambilnya. Wah, menakutkan dan ribet juga..
15.46 Setelah Romo Sabas sampai di pos 2 untuk menyatakan bahwa target tetap menginap di pos 3, kami pun beranjak dari sana . Savanna kali ini lebih ganas. Rumput-rumputnya sebagian terbakar, yang tak terbakar pun warnanya kekuningan, seakan mengadu akan panasnya panggangan sang mentari. Mana sih pos 3? Jalanan ini mulai berbatu-batu besar, bekas lontaran eksplosi, dan mulai bervegetasi pohon, khas ciri memasuki hutan. Mulai rimbun, dan akhirnya memang cukup rimbun. Lagi-lagi sebuah jembatan dari beton, tipis dan bertepi besi hijau yang tak terlalu kuat. Cukup heran juga membayangkan proses pengumpulan material dan pembuatannya, sebab nyata di bawah sana jurang. Lepas dari jembatan sempit ini, kami langsung dihadapkan pada bukit batu besar yang Nampak angkuh dan seram (pasti seram, sampai-sampai seorang teman kami menangis sendirian di sana :P ) menjulang. Kami harus memutari punggungnya dengan hati-hati untuk mencapai sisi lain dari bukit batu ini. Lepas dari sana, jalan kembali datar, berumput tinggi, dan 1-2 pohon lagi. Seperti memasuki dunia baru. Berjalan sekitar 30 menit dari situ, pohon-pohon mulai leat lagi di sisi kanan-kiri. Jalan tengah masih berupa batuan kerakal dan rumput rendah. Sempat Nampak jalan rumput tinggi lain ke arah kanan (atau bawah) yang kelihatan hitam bekas terbakar. Kami putuskan untuk focus ke atas. Sempat bertemu dengan 2 porter dari teman-teman di rombongan depan yang berlari-lari turun. Ternyata mereka pergi ke sumber air.
Tak sampai 5 menit kemudian, pukul 17.25, kami menemukan sebuah pondok hijau lagi di tanah yang cukup lapang, namun tanpa tulisan satu pun yang menandakan kalau pondok tersebut adalah sebuah pos. berarti, pos ini adalah pos bayangan. Apalagi, saat briefing di Surabaya, sempat dijelaskan kalau setelah Pos 3, kami harus memilih 1 dari antara 2 jalur: jalur penyiksaan atau jalur penyesalan. Di belakang pondok ini hanya ada 1 jalur. Oke, kami terus melaju. Sebuah tenda hijau telah berdiri di sisi kanan kami. Ini tenda teman-teman asing: Victor & Jay. Di sisi kiri, sebuah bukit batu basalt hitam kokoh berdiri. Di bawahnya, sebuah lubang semacam gua dangkal Nampak. Kami turun ke pasir-pasir di depan gua, lalu melintas naik ke tanah lapang di atasnya. This is the real Pos 3! Waktu menunjukkan pukul 17.50.
Pos 3 sebenarnya tak terlalu dingin seperti gunung-gunung lain, namun angin yang berhembus dari atas cukup membuat kami menggigil. Kami dirikan tenda di tempat yang cukup aman dari angin, namun agak jauh dari tenda kelompok teman yang sudah lebih dulu tiba dan mendirikan tenda. Kompor kami ternyata tak berfungsi, ngowos-kata orang Jawa. Akhirnya demi menghangatkan badan, kami menjadi peminta-minta di kelompok yang lebih dulu datang: meminta air panas untuk kopi, meminjam kompor dan alat masak. Terima kasihhh. ^^
Mentari telah benar-benar menghilang, tapi jumlah kami di dataran ini tak juga bertambah. Di mana teman-teman yang lain? Kami mulai cemas, apalagi seorang teman, Dony, menghilang tanpa pamit kepada siapa pun. Kelompok kami di sini pun tak lengkap anggotanya, sehingga bingung juga bagaimana akan meletakkan carier dan punggung untuk tidur.
1jam berlalu, Dony datang. “Aku tadi sudah pamit ke mbak silvana, kok”. Walah, aku kok gak merasa, ya? Ternyata teman-teman yang lain membuka tenda di pondok Pos 3 bayangan. Dony baru saja selesai membantu beberapa teman yang drop dan tak akan mampu mencapai Pos 3 bayangan tanpa bantuan. Beberapa teman juga harus kembali dan menjemput teman yang berbeban. Sementara, pos 3 yang sebenarnya hanya bertambah 2 orang penghuni: Citra dan Ade, dengan tambahan 1 tenda dari kelompok Ade. Maka, api kembali dinyalakan untuk memasak mie dan kopi untuk teman-teman yang baru datang, sementara tenda Ade dibuka untuk tidur 4 orang: Rm. Yitno, Dony, Ade, dan Oia. Tidur malam ini nyenyak, saking capainya kami melalui 1000 bukit :P
Surabaya, 22 September 2011, 01.44 p.m. WIB
Bagian terakhir membuat mataku berkaca-kaca jeng... :'(
ReplyDeleteBisa aku bayangkan keadaan kalian di pos 3 yg asli. Pasti CEMAS! LELAH! KEDINGINAN! KEBINGUNGAN... hehehe.. bingung mencari tempat untuk meletakkan punggung kalian.. KALIAN HEBAT!.. bisa bertahan dalam keadaan seperti itu...
SALUUUTTT... :thumbsup:
heheheeee... makasi bayanganx, y jeng..
ReplyDeletey ga gitu dingin, sih, coz sebenerx lebih dingin di pos 3 bayangan, tanah lebih lapang di sana, jadi angin lebih kerasa. kalo di pos 3 ga gitu dingin, kan d balik batu basalt besar, hehehe...
coba ada dirimu jg d situ, bakal lebih meriah.. ziziizizzi...
yo, yo.. naik2 k puncak gunung lagiii ^^