Thursday, 01 September 2011
Mengintip di tepi danau |
Pukul 7, yah kisaran itu lah. Membuka tenda
dan terbelalak: di depan tenda kami, hanya berjarak 2meter, air danau
menggenang. What a…. jadi, romo nggak bohong soal posisi tenda kami, hanya
saja, kami tak menyangka segini dekatnya, hahahaha.. mulailah aktifitas
menghangatkan tangan di perapian, dan karena masih ada teman di dalam tenda
yang tidur, maka kami pun berkeliling mencari perapian sambil mencari-cari
anjing yang tadi pagi setengah nyawa di dalam tenda kami dengar lolongannya, eh
malah dapat monyet-monyet yang bergelayut senang pada dahan-dahan, halah... Romo
yang ribut sedari tadi pagi sedang memasang pancingnya, menguji keberuntungan. Para porter sudah membuat perapian dan memasak nasi.
Beberapa tenda menyalakan kompor di depan tenda dan menjerang air, untuk the
atau kopi, asyikk.. bisa minta, hahaha… Pengumuman pagi itu, seperti kebiasaan
kami setiap mendaki gunung bersama: misa bersama. Kali ini, misa akan diadakan di tepi danau ini dengan
dua selebran sekaligus: Romo Sabas dan Romo Yitno. Misa akan diadakan pukul 08.00.
siap, mo!
Mandi ramai-ramai di sumber air panas |
Ternyata,
pukul 08.00 tiba dengan begitu cepat. Kami bahkan belum sempat mengunjungi
sumber air panas yang legendaris itu, baru masak nasi, mie, lauk, dan susu, hehe.
Hampir pukul 8 waktu itu, kami berlari naik, mendaki bukit di balik batu besar,
berangkat mandi. Dari puncak bukit batu, kami melihat dengan takjub 4 kubangan
air panas berwwarna hijau yang mengepulkan asap. Wahh… banyak juga yang mandi
di sana. Di sisi lebih jauh lagi, kami melihat sungai dengan air warna hijau
juga, tapi entah mengalir ke mana. Kata orang-orang, sumber air panas di sekitar danau ada lebih dari 1
tempat. Jadi ya mungkin saja sungai itu mengalir ke sana. Katanya lagi, sekitar
10 menit dari sumber air panas ini, ada sumber air tawar untuk kami bisa minum,
dari sanalah para porter mengambilkan air untuk kami. Oke, dari puncak bukit,
kami turun perlahan, lalu menyabot beberapa perlengkapan dari teman-teman
yang sudah akan naik, karena ternyata perlengkapan yang kami bawa tak lengkap,
hahaha…
Narsis massal ^o^ |
Menyusur tepi danau, di sisi balik perkemahan |
jalur berbatu-batu: climbing! |
Target
berangkat ke Pelawangan Senaru pukul 10.00 pun molor. Pakai acara photo session segala, sampai akhirnya pukul 12.00 kami
baru berangkat dari Segara Anak ke Plawangan Senaru. Beberapa teman memutuskan
untuk tinggal lebih lama, semalam lagi di danau, dengan sebuah tenda. Perjalanan
kami diawali dengan menyusur tepian danau hingga tiba di sisi hadapan camping
ground, melewati sedikit hamparan rumput dan bunga-bunga cantiknya, ambil foto
sejenak, lalu menghadapi kenyataan: tanjakan! Hahaha… meski tanjakan ini berada
dalam suasana hutan dengan vegetasi yang lengkap, namun tanjakan tetaplah
tanjakan, kami ngos-ngosan. Beberapa pohon besar tumbang, menyisakan tempat
yang agak luang untuk sekedar duduk dalam rombongan. Sekitar pukul 14, kami
beristirahat di pelataran yang agak lebar untuk setengah dari rombongan,
mengeluarkan persediaan air dan makanan kecil –karena cacing-cacing sudah
menuntut jatah lagi- sambil ngobrol-ngobrol ngalor-ngidul. Beberapa orang dalam
beberapa rombongan turun dari batu-batuan di depan kami, jalur yang menanti
kami lalui nanti. Ada sebuah rombongan yang turun dari Pos 3 Senaru hingga tiba
ke pelataran ini hanya untuk mencari air, ya
ampunn.. jauh sekali.
Padahal air baru bisa ditemukan di belakang sumber air panas tempat kami mandi
tadi. Setengah jam duduk membuat kami takut bakal susah untuk mulai berjalan
lagi, maka kami mulai bergerak, merapat di antara batu-batu yang menghampar. Tanjakan
yang lebih menanjak daripada tadi. Ternyata, jalur ini menyusur tepi atas
danau. Di beberapa titik, kami bisa melihat seluruh danau dan Gunung Baru Jari
di tepi kirinya. Beberapa jalur diberi pegangan besi, yang tak bisa dibilang
kokoh, dan rambu Tanah Mudah Longsor. Maka kali ini, kami merapat ke sisi
kanan. Dominasi tanah dan batu-batu pada tanjakan, yang membuat kami merayap di
atas batuannya. Sempat ada tanah lapang yang cukup untuk mendirikan sebuah
tenda, tapi ternyata ini bukan puncaknya, kami masih harus turun dan naik lagi.
Kali ini medan benar-benar ekstrim. Jalur ke Pelawangan Senaru ini bukan hanya mendaki,
tapi climbing - seperti deret batuan di Pulau Sempu kalau Anda pernah menempuh
jalur Pantai Panjang dan Tebing Syaitonirojin, tentu saja, terlebih pada
rentetan batu terakhir sebelum tiba di Plawangan Senaru, Anda harus memeluknya
erat dan berjongkok jika tak mau terantuk batu dan tangga di atasnya. Selamat!
Akhirnya, pada pukul 16.45 kami tiba di Pelawangan Senaru dengan pemandangan
sunsetnya yang memukau. Teman-teman yang lain baru tiba tepat saat sunset.
Banyak sekali wisatawan manca yang menginap di sana, dengan porter
masing-masing.
Sunset di Plawangan Senaru |
Turun
dari Plawangan Senaru, kami juga harus melalui batu-batu terjal, cukup
merepotkan untuk mengatur langkahnya. Pukul 17.15 waktu itu, saya sampai Pondok
Peristirahatan di bawah Plawangan Senaru. Masih juga banyak turis manca yang
menginap dan sedang menyaksikan sunset sementara para porter memasak. Di
bawahnya, saya turun melalui jalur pasir yang bisa dipakai seluncuran, namun
dalam kesendirian cukup menakutkan. Maka saya segera mencari barengan, berteriak
kepada beberapa teman di depan untuk sedikit bersabar. Untunglah mereka
mendengar. Pukul 18.15 waktu itu, kami berkumpul di bawah pohon cemara,
mengeluarkan semua senter, mengenakan jacket dan syal, lalu bergerak dalam
cahaya kecil menuju target hari ini: Pos 2, di mana ada sumber air.
Pukul 20.33 kami sampai di Pos 3 Senaru, bertemu
beberapa porter yang mengantar turis asing – yang sudah tidur di dalam tenda di
dalam pondok- dan 2 teman dari rombongan Jakarta. Kami kedinginan. Takut
rombongannya tak kuat, karena kami juga belum makan malam, Ade berinisiatif minta
segelas air panas dan mencampurnya dengan susu kental manis sehingga menjadi segelas
susu, yang kemudian diedarkan kepada semua, untuk sekedar pengganjal kantuk dan
lapar.
20.45, sebelum badan menjadi dingin lagi, kami
berangkat dari Pos 3 Senaru. Samping kiri-kanan kami, banyak tumbuhan terbakar,
masih terasa panasnya meski kini rupanya sudah tinggal sisa-sisa tunggul hitam.
Rupanya cahaya inilah yang sempat kami lihat kemarin dalam perjalanan ‘hit the
summit’, kebakaran di daerah senaru.
22.10 kami bertemu kelompok paling
belakang dan bersama-sama bergerak ke Pos 2 Senaru. Ngantuk yang menggelayut
membuat kami segera bergerak lagi meski beberapa senter telah redup dan bahkan
tak bisa digunakan. Kami membayangkan beberapa teman yang sudah berada di Pos 2
pasti sudah tertidur nyenyak sambil menunggu kami tiba.
Akhirnya, pukul 12.45 kami sampai juga
di Pos 2 Senaru. Tiga buah tenda sudah berdiri di sana, tenda milik Ade, tenda
kelompok Diaz, dan tenda milik teman-teman dari Bandung. Capekkk… Semua barang
diletakkan di pondok, ada 2 pondok di sini. Rupanya, pengelola Senaru lebih
rajin membuat pondok peristirahatan daripada pengelola di Sembalun. Benar saja,
di Pos 3 tadi juga ada 3 pondok, sekarang di Pos 2 ada 2 pondok. Hanya saja,
pondok di Senaru tanpa tutup di sisi kanan-kiri-belakang. Kami segera
mendirikan tenda sekenanya, memasak kopi-the-susu, memasak mie, lalu menarik
diri masuk ke dalam sleeping bag. Beberapa teman tidur di pondok, sekaligus
menjaga barang-barang yang masih tersisa belum sempat masuk tenda. Dingin tak
kami hiraukan lagi, kali ini perjalanan kami benar-benar sehari semalam, bahkan
telah mengintip tepian hari berikutnya.
Friday, 02 September 2011
Memasak air di Pos 2 Senaru |
Kami bangun sekitar pukul 8. Lapar… Tapi mau masak pun, air terbatas. Air
di sini tak sejernih air yang kami dapat di sepanjaang perjalanan lalu. Selain
keruh, kami harus memasaknya terlebih dahulu sebelum dapat mengkonsumsinya.
Sumber air terletak 100m ke arah kiri kalau dilihat dari arah perjalanan turun.
Ada papan yang
menunjukkan psosisinya. Sayangnya memang sepanjang jalan ke sana , banyak sekali sampah bahkan kotoran
manusia, menjijikkan.
Pukul
10.00, setelah masak, makan, dan batal lagi misa bersama, kami berangkat dari
Pos 2 Senaru. Papan rambu menyatakan
perjalanan kami akan menempuh 1,3 km ke pos 1. Tak jauh.. apalagi vegetasi
hutan yang rimbun membuat kami bebas dari sengatan panasnya mentari. Tancap
gassss…
Pos 1 Senaru |
Kami berlarian turun sehingga pada pukul 11.30,
kami sudah sampai Pos 1. Beristirahat di sana cukup lama, bersama-sama, sambil
membentuk panitia untuk suatu acara tahun depan di Gunung Agung. Benar, teman
Devi dan Paul? Hehehhe…. Selain ada pondok yang cukup lapang, di setiap Pos
Senaru, kami juga menjumpai tempat sampah dalam bentuk kotak terbuat dari seng
bercat hijau, serta papan petunjuk jarak ke pos sebelum dan sesudah pos
tersebut. Nampak lebih tertata. Dalam papan tertulis 1.1km ke Pos Extra.
Benarlah, kami tiba di Pos Extra pada
12.15, sangat cepat. Selain rimbun, jalanan cukup lebar dan berupa tanah
berlapis daun-daun yang gugur, membuat perjalanan kami maju terus tanpa
halangan, mengingat juga jalanan yang sudah kami lalui kemarin-kemarin jauh
lebih gila dan ekstrim J.
Balai-balai di depan gerbang Senaru |
Pukul 13an kami sampai pintu gerbang
Senaru, disambut dengan gerbang di atas dan sebuah warung kecil yang menjual
aneka makanan kecil, buah, dan minuman. Beberapa balai bamboo dalam satu
rangkaian panjang di depan warung membuat orang-orang yang baru turun tentu
langsung menjangkaunya untuk tidur :P Kami sangat senang, kesengsaraan kami
berakhir. Tapi, tapi.. ternyata ini bukan akhirnya. Ternyata, ini hanya
gerbang. Pos perijinan senaru masih 2km lagi dari sini. What??
Sambil bermalas-malas, kami menyusul jalan
tanah dengan pemandangan kiri-kanan berupa ladang penduduk atau lahan
pemerintah, entah, tak jelas juga kami tahu tentang hal itu. Di sebuah papan
memang tertulis Pusat Pembibitan Gaharu, namun sepertinya papan itu hanya
berlaku untuk beberapa petak lahan saja. Pukul 14an kami sampai Pos Perijinan
Senaru. Di pos ini dijual beberapa souvenir dan perlengkapan mountainaring. 3
buah balai kayu didirikan di depannya. Kamar mandi juga tersedia. Mini bus
kami, yang disiapkan oleh –lagi-lagi- Pak Gorys, sudah menanti. Maka setelah
sedikit foto-foto, menaikkan barang-barang ke atas minibus, dan pamit, sebagian
dari kami berangkat pulang ke Mataram. Sebagian tinggal untuk menunggu
teman-teman yang menginap lebih lama di danau sehingga bisa pulang bersama
dalam 1 minibus yang masih tertinggal.
Foto bersama teman2 porter di Pos Perijinan Senaru |
Menunggu dari pukul 15 – 18 ngapain ya? Kami
memutuskan memuaskan cita-cita kami saat mendaki puncak: makan baso! Maka,
mengikuti kata orang-orang, kami berjalan beriringan melewati jalan aspal
menuju pintu masuk air terjun. Konon, banyak penjual baso dan es degan di sana.
Baiklah, karena lagi-lagi, menurut kata orang-orang, perjalanan ke sana hanya
15 menit, kami mulai melenggang. Pemandangan pertama yang kami lihat di sisi
kiri: kampong suku Sasak, masih dalam rumah-rumah adat beratap rumbia khas suku
pedalaman, wow! Tapi kami takut masuk ke sana. 15 menit berlalu, kami menjumpai
banyak restoran, atau lebih tepatnya mini-café, dan tempat penginapan yang
menawarkan fasilitas bagi para turis manca, tapi belum juga tampak tanda-tanda
penjual baso atau suara air terjun. Wuah.. kami lupa lagi, alat ukur yang
digunakan tidak valid: 15 menit bagi warga sekitar berbeda dengan 15 menit
kami, tepatnya jarak tempuhnya yang sama sekali berbeda, hahaha…. Mulailah kami
bertanya, dan hasilnya, kami masih harus berjalan beberapa menit lagi, dan dari
situ, kami bisa turun lewat jalur illegal untuk sampai ke air terjun –memang
terdengar suara air terjun tak jauh dari situ- tapi bukan pintu masuk di mana
terdapat banyak penjual baso itu. Kami terus berjalan, dan voila! We got it! Sebuah
rombong baso, hanya sebuah sih, tapi kami benar-benar senang, dan es degan di
sampingnya. Di seberang rombong baso ini, ternyata ada sebuah pasar
tradisional. Berbincang dengan sebuah keluarga kecil yang akan merayakan
lebaran ketupat di kampong halaman, yang ternyata berasal dari desa suku sasak
di samping pos perijinan senaru tadi. Oh my God, dunia memang seluas daun
kelor, hahahha.. Tapi tak lama kemudian, kami dipanggil pulang oleh Romo karena
sopir minibus kedua sudah marah-marah terlalu lama menunggu, jadi.. kami tak
jadi menunggu teman-teman yang menginap lebih lama di danau, kami harus segera
pulang sebelum sopir minibus itu semakin naik pitam. Maka kami buru-buru balik ke pos dengan naik ojek,
Rp. 3000/orang, 1 ojek untuk 2 orang.
Sekitar setengah 5 kami berangkat
dari pos perijinan dan tiba di Mataram, Gereja St. Maria Immaculata, sekitar
pukul 9 malam.
Inilah akhir perjalanan ke Rinjani. Jangan
lupakan perjalanan kita, terutama saat-saat di mana kita ternyata menjadi beban
bagi orang lain, sadar atau tidak sadar, mari kita belajar bersama. Maaf untuk
semua keterusterangan saya, yang tak pandai menyembunyikan setiap kemarahan,
kegelisahan dan keprihatinan. Terima kasih atas semua kebersamaan, tawa dan
canda, malam-malam berbintang, hari-hari berpeluh, dan kisah.
Woaahh.... membaca ini membuat saya seperti terlempar ke masa pendakian kemarin
ReplyDeleteNice Piece !!
terlempar? sakit la'an? wkk...
ReplyDeleteanyway, thx ^^
bikin aku nagis dan ngompol.... ingin mengulangiiii. Tp syaranya Ade ga ikut...
ReplyDeleteahahaha... pasti ini mba rika, y?
ReplyDeletekok ga pake nama, mba? hehehe....
taun depan kan kerinci :P (tapi kok mengandung adoh & mahal, yuaa...hixhix..)
tau juga kamu kata 'mutung' kirain itu vocab. Batak hahahaha...
ReplyDeleteloh, q malah ngira itu vocab jawa, ito, hahhahahahahah :P
ReplyDelete