Mataram – Labuanbajo = Via
Dolorosa
From a distance the world looks blue and
green,
and the snow-capped mountains white.
From a distance the ocean meets the stream,
and the eagle takes to flight.
From a distance, there is harmony,
and it echoes through the land.
It's the voice of hope, it's the voice of peace,
it's the voice of every man.
and the snow-capped mountains white.
From a distance the ocean meets the stream,
and the eagle takes to flight.
From a distance, there is harmony,
and it echoes through the land.
It's the voice of hope, it's the voice of peace,
it's the voice of every man.
Penggalan
lirik lagu ini mengiringi keterlelapan tidur dalam perjalanan para jiwa-jiwa
pengelana. Dalam kesetengahsadaran; antara terlelap dan terjaga sepanjang
perjalanan dari Mataram higga Labuanbajo; baik darat maupun laut; terngiang
erat diliang ingatan antara pengalaman yang telah terjadi dengan apa yang
sedang dialami serta apa yang trjanji di esok hari. Di keheningan dalam riuhnya
perjalanan; terpapar dengan jelas di kejauhan pengalaman jiwa yang telah
menyatu baik dengan sesama maupun dengan alam Rinjani. Dari kejuhan terterawang
semuanya begitu indah, hijaunya alam dan kuningnya kedamaian serta putihnya
salju persahabatan untuk lebih bisa mencapai puncak gunung harapan. Hamparan
lautan sabana adalah media bagi para pengembara mengepakkan sayapnya yang
kokoh; menerbangkan jiwa ke lini-lini yang semakin tak pernah ketemu tepi.
Dalam sisa-sisa kesadaran; dari jiwa yang mencoba berjarak
dengan realita masih ditemui dan diindrai lelahnya badan yang diganggu dengan
pelayanan tidak nyaman selama perjalanan. Kernet bis operan yang minta tambahan
biaya, pelayaran dari Khayangan (Lombok) ke Pototano (Sumbawa )
yang bersuasana kumuh, para penjaja tiada lelah berusaha memaksakan
dagangannya. Terminal bis Sumbawa Besar yang angker (karena jumlah calo lebih
banyak daripada jumlah penumpang yang “dicaloi”). Bis malam ber-AC sekaligus
berdebu; dan duduk di bangku ‘tengah” yang tak lain adalah kotak krat botol
minuman dan karung-karung beras. Terminal kota
Bima yang seram dan kumuh; tidak familiar, semua penjaja jasa angkutan
menjejalkan moda transportasinya di depan pintu keluar bis yang datang,
sehingga para penumpang kesulitan untuk keluar bis serta kotoran kuda
bertebaran dimana-mana. Setelah sehari-semalaman tersiksa di via dolorosa ini,
sejenak kami mencari penghelaan jiwa dengan menyeruput secangkir kopi sambil
menunggu keberangkatan bis yang menuju Sape.
“Sape….!” Teriak sang
jiwa. Sang jiwa dengan segala keterbatasan dan sekaligus kebebasannya
sebenarnya sudah mengenali ‘identitas’ Sape. Lewat eksplorasi di media,
informasi personal atau dongeng yang samar-samar kebenarannya. Tetapi apapun
identitas Sape, sang jiwa patut berbahagia. Karena di sanalah pintu harapan
samar-samar tergambar. Harapan akhir dari siksa via dolorosa; dan
juga harapan memasuki laut dan tanah terjanji. Walau raga semakin penat dan
ringkih; namun jiwa tetap mencoba tawakal. Pasrah adalah kata akhir untuk
memperoleh rasa merdeka dari dera penderitaan. Hanya dengan kerelaan dan
kepasrahan; penderitaan kehilangan sengatnya. Situasi nadir ini disebut pula sebagai
titik nol. Tidak ada apa-apa; hanya ada harapan tersamar kabut; di Kejauhan sana . Maka pelayaran dari
Sape ke Labuhanbajo yang memakan waktu enam jam bukan menjadi siksa; justru
menjadi suka. Sang jiwa dengan tanpa takut berselancar-melayang di tengah
samudra; mengembara di bukut-bukit tak bertuan yang di laluinya. Ke setiap
alunan gelombang yang melenakan. Ke dasar samudra yang bebas dari kerakusan
manusia. Dan ke angkasa biru yang tidak berbatas walau ditembus berjuta angan.
Inilah saat komtempalasi jiwa. Menemukan keharmonisan, kedamaian, sukacita,
harapan; dambaan setiap jiw-jiwa insan manusia. Tanah terjanji termasuki sudah
: LABUHANBAJO. Jiwa pengembara mentanah di ketinggian Nol Meter Labuhanbajo.
Tak pikir tulisanmu iki mbak...
ReplyDeleteHahahah... tumben kok iso nulis puitis..
tapi ternyata..hihi
Apik btw iki cen tulisane mosab ...
eh,eh.. nek arep omong tulisanx mosab apik, g usah ngetrek2 aku dhisik, oi! (-,-)
ReplyDeletemang aku ga iso puitis y? kau belum tau kesaktianku, huh! :P
waduh pake nitip segala hehehe.. tapi kereen ah, jadi pingin backpack lagi.. yokk
ReplyDeleteiya, coz mosab g punya blog katanya, tapi pengen susunan potonya percis spt gitu.. jadi ya nitip, hahahaha...
ReplyDeleteayo ajah, tapi libur lagi kapan T_T
Ora kok... ammppuunnnn !!
ReplyDeleteCerpenmu iku diterbitke nang kene lahhh
biar bisa dinikmati oleh khalayak umum :p
Ammppooonnnn !! ga bermaksud seperti itu kak :D
ReplyDeleteBaiklah... saya tunggu kesaktian anda kalo begitu
baguz kau masih tau minta ampun, anak muda, huahahahaha..
ReplyDeletetunggulah, tapi tentu bukan cerpenku: khalayak menikmati, aku meratapi. sing genah aee.. =.=a