Malam, kira-kira pukul 11, seperti biasanya, aku pulang menuju rumah kos dengan mengendarai motor melewati sekurang-kurangnya 3 lampu merah. Seorang anak 9 tahunan berjalan-jalan di sela kendaraan saat lampu merah menggantikan hijau. “Mbak, tuku mbak.. gae mangan, mbak”, pintanya dengan wajah memelas. “Piro (berapa)?” “3000, mbak.”
Di perempatan lampu merah sebelum ini, seorang anak laki-laki 16 tahunan, berkaos oblong dan celana pendek, mengatakan hal serupa, dengan seberkas Koran pagi di tangan. “Piro (Berapa)?” tanyaku singkat. “5000, mbak”, jawabnya. “Nggak, wis”, tolakku spontan. Sebenarnya, bukan karena nominal yang besar tapi karena harga Koran itu di pasaran adalah 3000 rupiah. Anak yang beranjak remaja ini telah belajar me-“mark-up” harga untuk suatu kepentingan, ia telah belajar tidak jujur sejak usianya yang muda, dan aku tidak suka jika ini terus terjadi. Maka kuputuskan untuk tidak memberi peluang pada kebohongan itu untuk meraih kesuksesannya.
Anak lelaki di lampu merah berikutnya, yang relative lebih muda, dengan Koran pagi di tangan, celana pendek, kaos oblong, dan rompi Loper Koran, membuatku lebih ingin memberi, karena paling tidak, dia tidak berniat menipu, meskipun di banyak penjaja Koran lain, harga Koran pagi pada sore hari menjadi lebih miring akibat hamper expired, namun tak masalah bagiku.
Lampu merah berganti hijau. Posisi motorku yang di tengah jalan bakal menghalangi pemakai jalan lain untuk lewat, sementara aku masih ingin ngobrol sedikit dengan anak ini. “Kowe dodolan opo ngemis (kamu jualan apa mengemis)?” tanyaku to the point, setelah motor di tepi. “Dodolan, mbak”, jawabnya sambil mengayun-ayunkan lengan ke kiri-kanan. “Nek dodolan yo ojok njaluk ngono omonge, beda yo dodolan karo ngemis (kalau berjualan, ya jangan minta-minta gitu omongnya, jelas beda antara berjualan dan mengemis)”, lanjutku sambil mengeluarkan selembar 5000-an, “Ojok njaluk-njaluk meneh, yo (jangan minta-minta lagi, ya)!” “Iyo, mbak”, sahutnya sambil mencari kembalian. “Wis ga usah susuk (sudah, tidak usah kembalian).”
Meskipun nominal yang kukeluarkan sama-sama Rp. 5000, aku tidak menyesal membelinya dari anak ini, karena dia tidak berniat menipu-itu pertama, dan itu membukakan kesempatan untuk bisa mendengarkan nasihat orang lain demi kebaikannya. Semoga ia selalu ingat pesanku.
Bagiku, berjualan Koran dan mengemis jelas berbeda, meskipun pendapatan mereka mungkin justru lebih banyak jika mengemis. Perbedaannya terletak pada harga diri, martabat. Jika sejak kecil anak-anak jalanan ini terbiasa untuk mengemis, mereka akan terbiasa untuk menggadaikan martabat mereka hanya senilai nominal yang mereka dapat, tanpa melalui proses “bekerja”, dan yang paling parah adalah menggantungkan martabat itu pada “belas kasihan”. Saat mereka dewasa nanti, mereka adalah penerus bangsa. Mau jadi apa bangsa ini kalau generasi mudanya terbiasa mengemis, mengandalkan belas kasihan pihak lain, tanpa bekerja dengan kemampuan yang mereka punya? Hasilnya ya, jadilah bangsa bermental tempe, tergantung pada pinjaman bangsa lain, dan harga diri bangsa digadaikan. See? Sesuatu yang besar berawal dari sesuatu yang kecil, sejak dini. Maka, jangan anggap remeh hal-hal yang berhubungan dengan penanaman moral sejak kecil.
pic taken from:
http://www.firman-ahmad.com/2010/09/one-day-paperboy-part-1.html
Setujuu Sil :) :) :)
ReplyDeletewah, pat, kamu punya blog juga to?? baru tau, hehehe...
Deleteknp kok tau2 tertarik bikin blog, pat? baru mulai juni kmrn ya?
hahaha.. iya baru Juli malah. Benernya sih sdh banyak nulis dari pas hamil dulu trs aq pikir drpd scaterred dimana2 yang real-time mulai aq simpan di blog. Biar ntar Alice gede dia bisa baca juga hehehe. Kan gak semua hal kita bs ingat utk diceritain nanti2.
DeleteHahaha iya Sil, baru mulai Juli malah. Sebenernya sdh mulai nulis sejak hamil kmrn tp disimpan sendiri. Drpd scattered di mana2 aq bikin aja di blog. Biar ntar Alice gede jg bs baca, kan gak semua hal kita bs ingat untuk diceritakan nanti2 :D
Deletehehehe...betul bangetz, tuh..
Deletega bakalan ilang juga, kecuali server nya blogspot yg kebakar, hahahhaha....
welcome to the jungle ya, mamanya Alice.. ^^
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete