Ternyata tak
hanya menonton televisi yang butuh bimbingan orang tua, menonton film Soekarno
pun butuh bimbingan, tapi dari ahli, hehe.. Inilah yang saya alami ketika
menonton film Soekarno dengan seorang teman, yang notabene sama dengan saya,
seorang awam tentang sejarah, khususnya sejarah yang berkaitan dengan Soekarno.
Saya menonton dengan harapan yang membubung tinggi namun pada akhir pemutaran,
kesan saya dari film ini yang dominan adalah jengkel, jengkel dengan tingkah
Soekarno yang setelah menjalani masa-masa pembuangan dengan didampingi Ibu
Inggit yang setia kemudian tiba-tiba jadi ingin menduakannya dengan seorang
gadis yang dahulu muridnya di tempat pembuangan, jengkel dengan Soekarno yang
ketika teman-teman aktifis sibuk membahas rancangan dasar Negara malah galau
akibat istri pertama menggugat cerai. Wah, jelas ini penangkapan yang salah
dari seorang tokoh sebesar Soekarno. Kesan saya itu baru berubah setelah
mengikuti diskusi bersama seorang narasumber, yang meskipun bukan kerabat dekat
Soekarno tetapi lebih mengenal banyak sejarah yang berkaitan dengan Soekarno,
Pak Joko Susanto, seorang dosen HI spesialis Globalisasi di FISIP Unair.
Beginilah yang
sebenarnya menurut beliau.
Soal perempuan,
memang demikian adanya. Pak Joko bahkan membayangkan kalau tingkat
ke-playboy-an dari seorang Soekarno akan digambarkan secara lebih buruk,
untungnya tidak. Di film ini, Soekarno digambarkan cukup lama dan berpikir
benar dalam mengambil keputusan soal perempuan, meskipun pada kenyataannya
tidak.
Karakter yang
dibawakan oleh Ario Bayu cukup kuat menggambarkan pribadi Soekarno yang
agitatif. Keberhasilan Soekarno dalam setiap pidatonya di tengah massa mampu
membangkitkan semangat massa yang hadir, entah itu dalam orasi terbuka di
lapangan, dalam pembelaannya di sidang pengadilan, dalam mengajar di kelas,
maupun di tempat public seperti Stasiun Gubeng, contohnya. Gelegarnya tampak
kembali ketika dalam sebuah rapat menuju kemerdekaan, Soekarno mengusulkan
Pancasila, yang hingga kini masi terasa keagungannya. Kisahnya dengan Inggit
terasa tak adil memang, karena pada kenyataannya memang Inggit-lah yang selalu
menjadi pendukung utama Soekarno, terutama dalam hal keuangan. Selama
pembuangan, Inggit juga selalu mendampingi. Sebagai bocoran untuk teman-teman,
yang ditampilkan di film Soekarno hanya pembuangannya ke Bengkulu karena
kemungkinan besar akan dibuat film lain yang menampilkan pembuangan Soekarno ke
Ende. Berita bagus, kan?! J
Hatta dimainkan
sangat baik oleh Idris Sardi. Mungkin beberapa teman menganggap dia ragu-ragu,
namun jika lebih cermat diperhatikan, dia cenderung “prudent”, tidak gegabah
dalam mengambil keputusan. Ini nampak jelas dari dialognya saat berdua di dalam
mobil, di halaman rumah Laksamana Muda Maeda. Dia juga menjadi pendamai,
terutama dalam film digambarkan pendamai antara Soekarno dengan Syahrir.
Mengapa begitu sampai di Jakarta, Soekarno menemui Hatta dan bukan yang lain?
Hatta merupakan seorang intelektual terkenal pada masa itu dan Soekarno jelas
sangat menghargainya, terlihat saat mereka menyusun naskah Proklamasi. Hubungan
antara Soekarno – Hatta sebenarnya sangat dekat, tidak seperti yang kita dengar
dari issue yang beredar pada masa Orde Baru. Mengapa demikian? Penguasa masa
itu memang ingin memisahkan pendukung Soekarno dari pendukung Hatta sebab jika
mereka bersatu, penguasa bakal mudah digulingkan. Dan begitulah yang kita tahu
dari sejarah yang dijejalkan ke pelajaran kita masa itu: Soekarno tidak akur
dengan Hatta, padahal dari film kita bisa melihat bagaimana mereka begitu
dekat. Menurut cerita Pak Joko, bahkan yang mencarikan & meminangkan istri
untuk Hatta adalah Soekarno, karena Hatta bernazar tidak akan menikah sebelum
Indonesia merdeka.
Syahrir,
diperankan oleh Tanta GIngting, digambarkan sebagai tokoh yang benar-benar
berjiwa muda, pemberontak, anti kolonialisme, anti kooperatif dengan penjajah.
Ia tidak ikut dalam merencanakan penculikan di Rengasdengklok dan ia, meskipun
tampak tidak suka dengan Soekarno, sangat menghargai Soekarno, “Walau ada satu,
dua atau tiga Syahrir tidak ada yang bisa menggantikan Soekarno!”, kata-kata
yang memang pernah benar-benar diucapkan oleh Syahrir.
Tentang hubungan
Soekarno – Hatta - Syahrir, ini yang perlu digarisbawahi, mereka memang berbeda
dalam cara, tetapi tidak dalam tujuan. Tujuan mereka jelas satu: Indonesia
merdeka. Merinding saya membayangkan ini. Di era kini, kenyataan sebaliknya,
begitu kata Pak Joko, berbagai partai satu dalam cara, tetapi berbeda dalam
tujuan. Coba perhatikan, apa tujuan partai-partai untuk Indonesia? Mereka punya
tujuan berbeda-beda, yang notabene untuk kepentingan golongan; sangat ironis
dengan para founding father bangsa ini. Merinding seperti ketika saya melihat
acara Mata Najwa episode “Apa Kata Mega”, di bagian akhir acara Megawati
mengatakan sambil menahan haru, “Inginnya saya: Indonesia Raya”.
Di masyarakat
sekarang bermunculan banyak motivator yang semua intinya mendorong perbaikan
individu dengan harapan akan menciptakan kebaikan public. Yakinkah kita bahwa
kebaikan individu bisa menciptakan kebaikan public? Bisa, tetapi susah, sangat.
Coba bandingkan dengan Singapore. Bagaimana Singapore bisa menjadi Negara yang
teratur seperti sekarang? Tentu karena system yang baik. System yang baik
menciptakan indiviud-individu yang baik, bahkan untuk individu-individu yang
tidak baik. Selama masih ada celah untuk para pelanggar, berarti system masih
belum baik, demikian kata Pak Joko. Pertanyaannya, bagaimana menciptakan system
yang baik jika person-person yang menciptakan tidak baik? Ini tugas kita. Kita tidak
bisa hanya berkomentar di luar system. Jika kita ingin system yang baik,
masuklah, dan buatlah system yang baik. Inilah cita-cita kemerdekaan, kebaikan
bersama untuk menciptakan kebaikan individu, bukan sebaliknya.
So, temans..
Bagaimana kalau kita memulai? J
masuk ke dalam sistem... *hmm
ReplyDeletehmm...
ReplyDeletemasuk ke dalam... sistem.
Ya, seperti yang dilakukan Anies Baswedan.
DeleteButuh kekuatan & ketahanan memang :(
hmm...pfft
ReplyDeleteberada di dalam sistem...
:(
sehat, pak?
Delete