inilah sepenggal kisah yang bisa dibagikan dari Panti Asuhan Karunia:
Panti ini dihuni oleh 31 anak pengungsian Timur Leste, korban yang tersisa dari perang disintegrasi bangsa di Timor. Orang tua mereka termasuk kelompok yang pro Indonesia, namun kini entah sudah meninggal atau berada di mana, tak jelas. Seorang Romo membawa ke 27 anak lalki-laki dan 4 anak perempuan ini kepada seorang ibu yang pada mulanya sebenarnya berminat untuk mengurusi anak-anak yang tidak lagi diinginkan orang tuanya.
Sebagai pendahuluan, mari sedikit mengintip latar belakang Ibu Tien, sang pengelola panti ini.
Ibu Tien kecil sudah ditinggal olah ibunya ketika usianya 3 tahun dan oleh ayah ketika berusia 7 tahun, sehingga sejak saat itu beliau diasuh oleh sebuah keluarga yang peduli kepadanya. Jadi tak heran jika cita-citanya sejak kecil adalah membantu orang lain melalui kegiatan social.
Ibu Tien pernah bekerja sebagai perawat dan tenaga admin di sebuah rumah sakit di Pati. Beliau adalah perawat yang pintar sehingga pihak rumah sakit berniat menyekolahkan ibu ini ke jenjang yang lebih tinggi namun Ibu Tien menolak dan mengalihkannya kepada seorang teman perawat yang menurutnya lebih membutuhkan. Di situ, dia juga sering mendapat berkat berupa kiriman dari mantan pasien yang sudah sembuh.
Sekarang Bu Tien sudah mempunyai 3 orang anak, yang terkecil baru saja lulus dari UNAIR, dan suaminya baru saja meninggal.
Ketika anak-anaknya sudah beranjak dewasa-yang terkecil tinggal menyelesaikan kuliah di UNAIR-, Ibu Tien teringat lagi pada cita-cita lamanya untuk membanktikan diri dalam kegiatan social. Saat itu yang terpikir di otaknya adalah anak-anak yang tak lagi diinginkan orang tuanya, entah karena hasil pergaulan bebas, karena lahir cacat, atau karena kesulitan ekonomi orang tuanya. Keinginannya adalah untuk mengasuh anak-anak itu hingga dewasa, dan suatu saat, jika mungkin rang tuanya sudah mau menerima lagi, anak tersebut dapat kembali kepada orang tuanya tanpa perlu memberi bayaran sepeser pun kepada bu Tien. Keinginan ini muncul dari pengalamannya menjadi perawat di RS Pati di masa lalu.
Saat ia menyanpaikan keinginan ini kepada serang Romo, Romo malah membawa kepadanya 31 anak Timor Leste yang sekarang sudah seperti anak-anaknya sendiri itu. Dia terkejut, tapi tak kuasa menolak. Dia percaya, Tuhan pasti punya rencana dan pasti memampukannya.
Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi Bu Tien pada awal pendirian panti ini. Dari intern saja, dia tidak paham akan budaya anak-anak Timor tersebut: tidak mengerti bahasanya, budaya mementingkan gengsi dan penampilan daripada kebutuhan pokok, dan kebiasaan buruk anak-anak yang sebagian besar terbiasa melakukan pencurian berencana. Dia dan bu Silvy benar-benar kewalahan. Anak-anak yang sudah besar tentu lebih susah dididik daripada anak-anak yang masih kecil. Mereka sudah terbiasa tidak mempunyai apa-apa sehingga untuk mendpatkan sesuatu dalam rangka memenuhi gengsi, mereka terbiasa mencuri. Tak heran jika dalam seminggu, bu Tien harus beberapa kali ke toko bangunan untuk –lagi-lagi- membeli gembok dan kunci pintu yang dibobol oleh anak-anak ini. Belum lagi kalau mereka berkelahi. Fisik yang besar, bahasa yang kasar -dan tentu saja asing- membuat mereka berdua tak bisa maksimal dalam menentukan langkah tepat. Kekuatan mereka, benar-benar hanya doa. Setiap kali merasa jutek, marah, tak tahu arah, Bu Tien mengurung diri di kamar lalu curhat kepada Tuhan, begitu pua setiap kali setelah dia memarahi salah satu atau beberapa anak tersebut.
Berkat doa juga, akhirnya seorang bapak dari Timor, yang mengerti latar belakang anak-anak ini, datang membantu ke panti sehingga masalah lintas budaya pun lebih bisa diatasi.
Budaya doa juga ditanamkan kepada komunitas bersama anak-anak panti. Setiap pagi pukul 5 dan sebelum berangkat sekolah, Bu Tien dan Bu Silvy mendampingi mereka berdoa bersama, begitu juga sore hari pukul 6. Mungkin doa kita malah kalah dengan doa mereka karena mereka juga berdoa syafaat untuk bangsa, gereja, lingkungan sekitar dan orang-orang yang pernah membantu mereka. Kesempatan doa bersama ini juga dipakai untuk evaluasi pribadi saat ada yang melakukan kesalahan. Teguran memang tidak langsung, hanya menggugah kesadaran mereka yang merasa sehingga setelah doa mereka yang mereasa bersalah menghadap bu Tien dan mendapat hukuman. Kata bu TIen, hukuman yang paling ampuh untuk anak-anak ini adalah tidak mendapat jatah 1kali makan. Mereka sekarang benar-benar tergantung pada jatah makan karena energi yang terpakai untuk aktifitas sehari-hari besar dan input yang biasa mereka terima dalam jumlah besar juga J “Kalau kelaparan itu mereka bisa seperti pindang tidur-tidur di sini, mbak”, tutur bu Tien sambil tertawa.
Ruangan yang dipakai tidur bersama itu juga digunakan sebagai ruang makan saat makan, ruang tamu saat ada yang berkunjung, dan ruang doa saat doa bersama. One for all J
Nilai kebersamaan yang kental terasa dari komunitas ini. Seringkali dalam jam-jam istirahat sekolah, anak-anak pulang ke panti untuk sekedar minum atau makan lagi. Mereka mendapat uang saku 2000 per hari untuk yang duduk di jenjang SMP dan SMA, mengingat sekolah mereka agak jauh dari panti, sedangkan yang SD tidak mendapat uang saku. Penggunaan uang saku ini diserahkan kepada masing-masing anak. Anak yang hemat, dapat menabung uang sakunya sehingga sekarang ada beberapa sepeda kayuh untuk memudahkan transport mereka ke sekolah. Namun, anak-anak yang kurang pengertian, malah menggunakan uang tersebut untuk main PS atau ke warnet.
Untuk masalah keuangan, keuangan rumah tangga dan keuangan untuk panti tak pernah disatukan, masing-masing mempunyai pos nya sendiri. Dia mendapat penghidupan rumah tangga dari suami -sekarang dari uang pensiun suami- dan dari anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Keuangan panti dikelola bersama Bu Silvy, seorang ibu dari Banjarmasin yang membantu Ibu Tien dalam kerja social di panti ini.
Puji Tuhan, sampai saat ini Tuhan selalu mencukupkan. Contohnya, saat uang menipis, bahkan untuk membeli tahu saja tidak ada dan bu Tien sudah capai, tba-tiba seorang donator membawakan tahu goreng untuk mereka. Juga saat sepatu seorang anak jebol, namun lama dia sembunyikan dari bu Tien & bu Silvy karena takut menyusahkan, meskipun akhirnya toh ketahuan juga, tapi saat itu panti tidak ada dana lebih untuk membeli sepatu. Maka bu Tien mengajak anak-anak berdoa bersama dengan salah satu ujub: sepatu. Tepat setelah doa selesai, seorang donatur menelepon bu Tien dan menanyakan kebutuhan panti. Kontan bu Tien menjawab: sepatu. Tuhan selalu mendengar doa anak-anaknya dan memberikan yang terbaik pada waktuNya.
Pekerjaan social mengurus panti yang dilakoni bu Tien dan Bu Silvi ini sama sekali tanpa bayaran. Panti ini dikelola personal, di bawah perlindungan Romo Gani, CM, yang selama ini memang melakukan pendampingan kepada anak-anak jalanan.
Semangat berkorban, yang menjadi tema besar setiap perayaan Paskah, yaitu pengorbanan Yesus sendiri, mungkin sudah tidak lagi relevan di masa sekarang. Pun kata yang terlalu tinggi untuk dilakoni, namun kedua ibu ini telah membuktikan bahwa kata pengorbanan masih terjangkau untuk dilakukan di masa sekarang.
Semoga sepenggal kisah ini memberi sesuatu yang bermakna bagi teman-teman.
“Kobarkah apimu, sukseskan tugasmu… revolusi penebusan!”
Berkah Dalem..
-.~
NB:
Panti Asuhan Karunia
Jalan Bulaksari III gang buntu no 3A Surabaya
Phone. 0878 5325 4935, 031 372 6580
Panti ini dihuni oleh 31 anak pengungsian Timur Leste, korban yang tersisa dari perang disintegrasi bangsa di Timor. Orang tua mereka termasuk kelompok yang pro Indonesia, namun kini entah sudah meninggal atau berada di mana, tak jelas. Seorang Romo membawa ke 27 anak lalki-laki dan 4 anak perempuan ini kepada seorang ibu yang pada mulanya sebenarnya berminat untuk mengurusi anak-anak yang tidak lagi diinginkan orang tuanya.
Sebagai pendahuluan, mari sedikit mengintip latar belakang Ibu Tien, sang pengelola panti ini.
Ibu Tien kecil sudah ditinggal olah ibunya ketika usianya 3 tahun dan oleh ayah ketika berusia 7 tahun, sehingga sejak saat itu beliau diasuh oleh sebuah keluarga yang peduli kepadanya. Jadi tak heran jika cita-citanya sejak kecil adalah membantu orang lain melalui kegiatan social.
Ibu Tien pernah bekerja sebagai perawat dan tenaga admin di sebuah rumah sakit di Pati. Beliau adalah perawat yang pintar sehingga pihak rumah sakit berniat menyekolahkan ibu ini ke jenjang yang lebih tinggi namun Ibu Tien menolak dan mengalihkannya kepada seorang teman perawat yang menurutnya lebih membutuhkan. Di situ, dia juga sering mendapat berkat berupa kiriman dari mantan pasien yang sudah sembuh.
Sekarang Bu Tien sudah mempunyai 3 orang anak, yang terkecil baru saja lulus dari UNAIR, dan suaminya baru saja meninggal.
Ketika anak-anaknya sudah beranjak dewasa-yang terkecil tinggal menyelesaikan kuliah di UNAIR-, Ibu Tien teringat lagi pada cita-cita lamanya untuk membanktikan diri dalam kegiatan social. Saat itu yang terpikir di otaknya adalah anak-anak yang tak lagi diinginkan orang tuanya, entah karena hasil pergaulan bebas, karena lahir cacat, atau karena kesulitan ekonomi orang tuanya. Keinginannya adalah untuk mengasuh anak-anak itu hingga dewasa, dan suatu saat, jika mungkin rang tuanya sudah mau menerima lagi, anak tersebut dapat kembali kepada orang tuanya tanpa perlu memberi bayaran sepeser pun kepada bu Tien. Keinginan ini muncul dari pengalamannya menjadi perawat di RS Pati di masa lalu.
Saat ia menyanpaikan keinginan ini kepada serang Romo, Romo malah membawa kepadanya 31 anak Timor Leste yang sekarang sudah seperti anak-anaknya sendiri itu. Dia terkejut, tapi tak kuasa menolak. Dia percaya, Tuhan pasti punya rencana dan pasti memampukannya.
Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi Bu Tien pada awal pendirian panti ini. Dari intern saja, dia tidak paham akan budaya anak-anak Timor tersebut: tidak mengerti bahasanya, budaya mementingkan gengsi dan penampilan daripada kebutuhan pokok, dan kebiasaan buruk anak-anak yang sebagian besar terbiasa melakukan pencurian berencana. Dia dan bu Silvy benar-benar kewalahan. Anak-anak yang sudah besar tentu lebih susah dididik daripada anak-anak yang masih kecil. Mereka sudah terbiasa tidak mempunyai apa-apa sehingga untuk mendpatkan sesuatu dalam rangka memenuhi gengsi, mereka terbiasa mencuri. Tak heran jika dalam seminggu, bu Tien harus beberapa kali ke toko bangunan untuk –lagi-lagi- membeli gembok dan kunci pintu yang dibobol oleh anak-anak ini. Belum lagi kalau mereka berkelahi. Fisik yang besar, bahasa yang kasar -dan tentu saja asing- membuat mereka berdua tak bisa maksimal dalam menentukan langkah tepat. Kekuatan mereka, benar-benar hanya doa. Setiap kali merasa jutek, marah, tak tahu arah, Bu Tien mengurung diri di kamar lalu curhat kepada Tuhan, begitu pua setiap kali setelah dia memarahi salah satu atau beberapa anak tersebut.
Berkat doa juga, akhirnya seorang bapak dari Timor, yang mengerti latar belakang anak-anak ini, datang membantu ke panti sehingga masalah lintas budaya pun lebih bisa diatasi.
Budaya doa juga ditanamkan kepada komunitas bersama anak-anak panti. Setiap pagi pukul 5 dan sebelum berangkat sekolah, Bu Tien dan Bu Silvy mendampingi mereka berdoa bersama, begitu juga sore hari pukul 6. Mungkin doa kita malah kalah dengan doa mereka karena mereka juga berdoa syafaat untuk bangsa, gereja, lingkungan sekitar dan orang-orang yang pernah membantu mereka. Kesempatan doa bersama ini juga dipakai untuk evaluasi pribadi saat ada yang melakukan kesalahan. Teguran memang tidak langsung, hanya menggugah kesadaran mereka yang merasa sehingga setelah doa mereka yang mereasa bersalah menghadap bu Tien dan mendapat hukuman. Kata bu TIen, hukuman yang paling ampuh untuk anak-anak ini adalah tidak mendapat jatah 1kali makan. Mereka sekarang benar-benar tergantung pada jatah makan karena energi yang terpakai untuk aktifitas sehari-hari besar dan input yang biasa mereka terima dalam jumlah besar juga J “Kalau kelaparan itu mereka bisa seperti pindang tidur-tidur di sini, mbak”, tutur bu Tien sambil tertawa.
Ruangan yang dipakai tidur bersama itu juga digunakan sebagai ruang makan saat makan, ruang tamu saat ada yang berkunjung, dan ruang doa saat doa bersama. One for all J
Nilai kebersamaan yang kental terasa dari komunitas ini. Seringkali dalam jam-jam istirahat sekolah, anak-anak pulang ke panti untuk sekedar minum atau makan lagi. Mereka mendapat uang saku 2000 per hari untuk yang duduk di jenjang SMP dan SMA, mengingat sekolah mereka agak jauh dari panti, sedangkan yang SD tidak mendapat uang saku. Penggunaan uang saku ini diserahkan kepada masing-masing anak. Anak yang hemat, dapat menabung uang sakunya sehingga sekarang ada beberapa sepeda kayuh untuk memudahkan transport mereka ke sekolah. Namun, anak-anak yang kurang pengertian, malah menggunakan uang tersebut untuk main PS atau ke warnet.
Untuk masalah keuangan, keuangan rumah tangga dan keuangan untuk panti tak pernah disatukan, masing-masing mempunyai pos nya sendiri. Dia mendapat penghidupan rumah tangga dari suami -sekarang dari uang pensiun suami- dan dari anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Keuangan panti dikelola bersama Bu Silvy, seorang ibu dari Banjarmasin yang membantu Ibu Tien dalam kerja social di panti ini.
Puji Tuhan, sampai saat ini Tuhan selalu mencukupkan. Contohnya, saat uang menipis, bahkan untuk membeli tahu saja tidak ada dan bu Tien sudah capai, tba-tiba seorang donator membawakan tahu goreng untuk mereka. Juga saat sepatu seorang anak jebol, namun lama dia sembunyikan dari bu Tien & bu Silvy karena takut menyusahkan, meskipun akhirnya toh ketahuan juga, tapi saat itu panti tidak ada dana lebih untuk membeli sepatu. Maka bu Tien mengajak anak-anak berdoa bersama dengan salah satu ujub: sepatu. Tepat setelah doa selesai, seorang donatur menelepon bu Tien dan menanyakan kebutuhan panti. Kontan bu Tien menjawab: sepatu. Tuhan selalu mendengar doa anak-anaknya dan memberikan yang terbaik pada waktuNya.
Pekerjaan social mengurus panti yang dilakoni bu Tien dan Bu Silvi ini sama sekali tanpa bayaran. Panti ini dikelola personal, di bawah perlindungan Romo Gani, CM, yang selama ini memang melakukan pendampingan kepada anak-anak jalanan.
Semangat berkorban, yang menjadi tema besar setiap perayaan Paskah, yaitu pengorbanan Yesus sendiri, mungkin sudah tidak lagi relevan di masa sekarang. Pun kata yang terlalu tinggi untuk dilakoni, namun kedua ibu ini telah membuktikan bahwa kata pengorbanan masih terjangkau untuk dilakukan di masa sekarang.
Semoga sepenggal kisah ini memberi sesuatu yang bermakna bagi teman-teman.
“Kobarkah apimu, sukseskan tugasmu… revolusi penebusan!”
Berkah Dalem..
-.~
NB:
Panti Asuhan Karunia
Jalan Bulaksari III gang buntu no 3A Surabaya
Phone. 0878 5325 4935, 031 372 6580
Thanks buat infonya Sil... Semoga ntar bisa kasih sedikit bantuan ke sana...
ReplyDeleteSelamat Pagi,
ReplyDeleteSaya mencoba menghubungi no 0878 5325 4935, 031 372 580 tapi tidak tersambungkan, apakah silvana tahu no kontak lain yg dapat saya hubungi? Terimakasih banyak.
Octhania
wah, maaf mba.. sudah lama ngga ke sana juga..
Deletecoba nanti saya tanyakan teman yang mungkin masih update ya..
atau bisa coba langsung datang ke alamat yang tertulis, mba :)
Terima kasih juga untuk berbagi.. ^_^
iya terimakasih ya :D
ReplyDeleteternyata angka no tel nya kurang 1 angka, 031 372 6580, tpi tidak ada yg menerima..
ReplyDeleteohhh... iyaa...
Deleteterima kasih banyak koreksinya, mba.. semoga berhasil ya ^_^ (y)