It’s been so
long since I write down the first part of my article “Aku Cinta Indonesia” in
this blog. I plan for 3 parts of this topic by breaking it down into a
structure that I forget now :D
So, here I start
to remind myself about the sequels of that part.
Part 2:
Danau Segara Anak, Rinjani Mount |
Oke, sekarang kita kembali ke Indonesia. How do I miss this country… I do miss the mountain and the beach, I think… and the history of architectures here.
Ingin sekali
mempromosikan keindahan Indonesia, terutama kepada traveller Indonesia sendiri,
yang seringnya malah jalan-jalan ke Negara tetangga, dengan atau tanpa promo
tiket murah. Padahal, itu berarti kita menyumbangkan rupiah kita ke devisa
Negara tetangga. Bukannya enggak boleh, sih, tapi kalau Cuma buat lihat
keindahan alam atau wisata, Indonesia jauhhhh…lebih indah.
Sempat terpikir
untuk bikin blog khusus destinasi wisata local yang keren abis dan jalur untuk
bisa nyampe ke sana. Sampai saat ini juga masih pengen. Tapi, wait..tunggu
dulu.. Berita baru-baru ini mengecewakan banget. Sebenarnya juga nggak
baru-baru amat. Beritanya sudah jadi keprihatinan yang sangat ketika sampai
pada status darurat ekosistem, wow… Ini sempu, saudara, yang banyak orang
bilang paradise island di selatan Malang. Salah satu yang sudah sampai titik
klimaks tingkat kejenuhan akan ulah menjengkelkan traveller Indonesia (local).
Ini sangat menyedihkan bagi aku, sungguh..
Pemandangan
sampah sebenarnya sangat parah, tak hanya di cagar alam, yang lama-lama beralih
fungsi menjadi objek wisata selfie, dari kota hingga desa. What a bad..thing..
Tau apa yang ada dalam pikiranku? Yap, kesadaran. Ini hal kecil, kecil banget,
yang harusnya sudah tuntas diajarkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
sejak dini, sejak TK atau lebih kecil lagi.
Percaya nggak,
bahkan di gunung bisa banjir, saudara. Gila kan? Padahal dulu jaman kuliah aku
dan teman-teman sempat nyeletuk asal soal ini: kalau Malang banjir, karena
Malang notabene lebih tinggi daripada Surabaya, jelas Surabaya tenggelam. Eh,
sekarang jadi kenyataan. Pasalnya sederhana, sampah di jalanan. Tahu di mana
aku lihat ini? Di dataran tinggi 2900mdpl di Lumajang, B29. Sampah berjejal di
tepi jalan tanah sejak pos perijinan hingga puncak B29. Menyedihkan. Dan saat
hujan turun, jalan utama mulai jadi jalan air, banjir, karena jalan air di sisi
tepi kiri kanan jalan utama dijadikan tempat sampah. Nggak usah jauh-jauh
pendatang, bahkan pemilik warung yang berjualan di pos perijinan juga menyapu
terasnya dengan sampah bungkus mie instant dan bungkus lain, lalu mengakhirinya
di selokan tepi jalan utama. Owww…
Terus gue harus bilang “Wow” gitu? Ya,
wow.. Terus gimana bisa mereka melarang
para traveller pendatang untuk buang sampah sembarangan kalau mereka saja
melakukan hal itu?
sampah di puncak B29, di sepanjang tepi jurang :( |
see? Sampah di sepanjang tepian, di sisi belakang warung :( |
Banyak orang
berpikir, “Ah, Cuma sampah bungkus permen aja kok, masa sampai bikin banjir?!”
Itu kan 1 orang, lah kalau lainnya juga mikir gitu gimana? Aku mau bilang ini
sejak dulu, integritas bukan soal banyak atau sedikitnya apa yang kita lakukan
tapi soal seberapa konsisten dan konsekuen kita dalam melaksanakan dan
mewujudnyatakan dalam perbuatan sehari-hari tentang apa yang ada dalam idealism
kita. Kalau dalam kitab suci, tertulis “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara
kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar”. Itulah integritas. Sama
seperti kalau kita mengambil sedikit uang Negara, sama saja dengan koruptor.
Kita koruptor kecil, mereka yang tertangkap KPK koruptor besar. Apa sama dosa
yang melakukan kesalahan kecil dengan yang melakukan kesalahan besar? Maaf,
dosa bukan urusan saya, kawan..itu urusan yang di Atas; tapi yang pasti kita
bukan lagi orang ber-integritas lagi saat kita ingkar pada perkara-perkara
kecil.
Ini point besar
tentang bargaining position yang aku bicarakan di atas, integritas. Ya, para
orang besar kita kurang berintegritas jelas. Tarik ulur soal investasi dan
aturan mainnya, tapi apakah lantas berhenti di situ? Sering kita mendengar, daripada menyalahkan kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. That's right! Lilin, kawan, bukan api unggun. Kecil saja cukup, asal tidak lagi gelap. Lilin kecil tetap bisa membantu kita berjalan walau dalam kegelapan. Atau mungkin kalau kita mau berkilah: lilin bisa habis karena meleleh, oke.. baiklah kita memilih menjadi senter, kalau habis bisa di charge lagi, deal?
Jadinya gimana nih? Ya promosiin Indonesia, man.. tapi pakai pendahuluan dulu, yaitu
menanamkan kesadaran. Penanaman kesadaran bisa dimulai kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja. Pernah suatu kali, saya beli nasi goreng ke Bapak yang jual nasgor pakai gerobak dorong, dan dia buang sampahnya di selokan kecil belakang gerobak; saya tanya donk.. "Selokannya nggak ngalir, Pak?", "Nggak, mbak, sudah lama buntu", "Lah gitu itu kalau dibuangin sampah, terus yang bersihin siapa, Pak?" hening.. biarlah dikatakan salah ambil topik atau salah tempat ngobrol, yang penting, aku berusaha untuk membawa kesadaran dan cepat atau lambat, sedikit atau banyak, Bapak tersebut akan berpikir tentang apa yang aku katakan.
Jadi..(lagi) mari menanamkan kesadaran dan mengiklankan betapa indahnya Indonesia :)
Jadinya gimana nih? Ya promosiin Indonesia, man.. tapi pakai pendahuluan dulu, yaitu
Danau segara anak, Rinjani |
Jadi..(lagi) mari menanamkan kesadaran dan mengiklankan betapa indahnya Indonesia :)
Comments
Post a Comment
Please enter ur comment here...-.~