Berawal dari
iming-iming savana luas dari seorang teman yang sudah naik Gunung Buthak lebih
dahulu 2 minggu sebelumnya, dan memang sudah lama ngga nggunung sejak terakhir
ke Tambora Lebaran 2015, aku mulai mencari info sana-sini dan mengajak teman
sana-sini. Rencana awal memang merayakan New Year's eve di ketinggian dengan
memandang taburan bintang, mencium hijau bau rerumputan, dan beralaskan matras
dari dalam tenda di tengah hamparan savana, wuhuuu.... The mountains are calling...
rangkaian gunung putri tidur di Malang |
Dapat deh gambaran
jalur, perkiraan topografi, kelompok, dan persiapan alat. Fix berangkat 31 Des
2015 dengan check point di Terminal Purabaya pukul 14.00 dan turun tgl. 2
Januari 2016 siang, setahun di gunung :D
H-2, tgl. 29 malam
ternyata diputuskan kalau teman-teman berangkat lebih dulu dari jadwal yg sudah
disepakati, menjadi tgl. 30 dan yang tersisa hanya aku, mba Sari, dan Adi.
Alhasil, waktu sehari tersita untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang harus
selesai sebelum tahun berganti dan persiapan akhir, yaitu mencari tenda isi 2
orang, karena ternyata Adi juga tak bisa gabung - kena shift malam pada tgl. 31
Des.
Sore itu, Terminal
Arjosari hujan deras, hingga pukul 19.00 lebih. Susah sekali mencari angkutan
ADL menuju Landungsari. Bapak-bapak yang biasa stay di dekat pangkalan becak di
situ sempat menawarkan bangku-bangku di belakang gardu untuk kami tidur kalau
sampai malam angkutan tak juga datang; terima kasih, Pak J Ketika akhirnya kami
mendapatkan angkutan tersebut, hujan sudah mulai reda, Tuhan memberi tanda,
mengijinkan kami melanjutkan perjalanan :) Kota Malang sudah mulai ramai dan
penuh sesak manusia yang hendak merayakan malam pergantian tahun, baik di
alun-alun kota, sepanjang Malang Kota lama, maupun restoran-restoran, semua
sesak. Lampu-lampu taman berwarna-warni yang menghiasi sepanjang jalur hijau
dan riuhnya manusia-manusia yang tertawa ria membuat kami lupa akan waktu yang
semakin malam. Tiba di Terminal Landungsari pukul 21.00, kami tertinggal 2menit
dari angkutan terakhir menuju Kota Batu dan bus kecil Puspa Indah jurusan
Kediri sudah tidak beroperasi pada waktu semalam ini. Pilihannya naik ojek,
sewa taxi, atau carter angkutan. Kami disarankan untuk menunggu di pangkalan
ojek depan indomaret di samping Pos Polisi di pintu luar terminal Landungsari.
Sepi, tak ada satu pun ojek, juga taxi. Kami sempat cemas, jangan-jangan kami
terpaksa harus menginap di jalan. Tak lama, Bapak penjual di warung kopi
samping pos polisi menghampiri kami, menawarkan untuk meneleponkan temannya
yang seorang sopir angkutan, supaya kami bisa carter, dan mengantar kami sampai
ke Mesjid Besar di seberang alun-alun Kota Batu, sebab kata Bapak-bapak polisi
maupun Bapak warung kopi ini, naik gunung malam-malam, apalagi hanya
berdua-cewek, tidak aman; bukan macan tapi “macan” ndas ireng; Batu sekarang
tidak seperti Batu dulu. Ketika sopir angkutan teman bapak warung kopi ini
datang, bapak warung kopi pesan benar-benar kepada temannya supaya mengantar
kami ke Masjid saja, besok pagi-pagi baru kami lanjutkan perjalanan ke pos
pendakian Panderman; sambil mencarikan penumpang lain untuk angkutan ini supaya
kami bisa membayar cukup Rp. 55.000 saja. Baik sekali Bapak ini, tulus membantu
kami, padahal kami juga baru kenal; we’ll never forget your help, Sir..
Perjalanan menuju
kota Batu sepi, angkutan kami melaju cepat. Rasa tidak rela tidak membuka tenda
di atas rerumputan malam ini, dan keyakinan kalau tujuan kami baik, pasti tidak
ada sesuatu yang buruk akan terjadi, mendorong kami untuk menego sopir angkutan
untuk mengantar kami langsung ke gerbang pendakian. Deal, Rp. 75.000 sampai
pertigaan gerbang Jl. Cempaka. Tiba di kota, mulailah kemacetan, di BNS, Museum
Angkut, Jatim Park yang membuka wahana baru, dan alun-alun kota. Arus dialihkan
lewat jalan alternative namun masih tetap macet. Bapak sopir bercerita, “Batu
sekarang seperti surge dunia, lho.. bisa sewa rumah atau villa campur
laki-perempuan, nggak perlu pake KTP”, masih berpikir kami cewek nggak bener L padahal jelas-jelas
kami bawa carrier dan matras di luar carrier, padahal Bapak warung kopi di
Landungsari tadi juga sudah berpesan, dan tujuan kami juga ke pos pendakian..
ya sudahlah..
Sekitar pukul 11
malam waktu itu, kami tiba di pertigaan gerbang Jl. Cempaka. Sambil menunggu
ojek, yang dipanggilkan oleh Bapak yang mungkin adalah coordinator di situ,
kami bergantian numpang numpang kamar mandi sambil berbelanja di Indomaret.
Tariff ojek ternyata hanya Rp. 10.000 /orang untuk sampai ke pos pendakian,
padahal jalan naik dan menikung cukup menakutkan kalau kami harus menyetir
motor sendiri.
peta jalur Buthak - Panderman |
Pak Muji, ternyata
sudah kakek-kakek, penjaga setia di pos pendakian, bersama beberapa bapak
berusia 50-60an, menyarankan kami jangan naik dulu, tunggu ada barengan yang
naik ke Buthak, sebab perjalanan jauh. Peta jalur pada selembar kain banner
dipasang di samping loket perijinan. Banyak cabang memang, bahkan untuk sekedar
sampai perbatasan dengan hutan. Kalau mau ke Latar Ombo, sekitar 1 jam dari
pos, kami diijinkan, dan banyak juga yang masih naik ke Latar Ombo semalam itu.
Saat kami datang sudah ada 6 orang cowok dengan tujuan Latar Ombo, lalu
sekelompok lagi terdiri dari 4 cewek 2 cowok, juga ke sana. Yang cukup membuat
kami syok adalah cerita dari mbak di kelompok ini. Dia sudah pernah ke Buthak dan
meng-amin-i Bapak-bapak di pos perijinan untuk menunda pendakian kami sampai
ada barengan karena pengalaman ketika dia naik, ada monyet warna putih dari
ujung kepala sampai ujung kaki yang muncul di tengah hutan dan minta makan,
tidak akan pergi sebelum diberi. Ini aneh, setahuku, di Panderman memang banyak
monyet, kera, tapi di Buthak tidak pernah aku dengar cerita itu. Agak bergidik
juga mendengarnya, sepertinya bukan monyet sungguhan, hadehh…horror juga.
Mantaplah sekarang kami untuk menurut, membuka tenda di dekat pos perijinan,
dan merelakan ngecamp malam tahun baru di hutan pupus. “Yang paling penting
nyawa kalau naik itu, mba”, pesan si mba tadi. Baiklah.. terima kasih sudah
memberi kode keras untuk kami ya, mba..
Pukul 1.30 dini hari
kami dirikan tenda lalu berusaha tidur tetapi susah. Bunyi kembang api di kota
masih riuh dan music dengan speaker besar masih menyala di teras rumah samping
pos perijinan. Entah pukul berapa
akhirnya kami terlelap tapi tak lama kami sudah terbangun mendengar kalimat,
“Mau naik ke Buthak”, dari pos perijinan. Harus packing nih, lalu bergabung.
Buru-buru kami bangun dan minta kelompok tersebut menunggu kami, syukurlah
mereka mau :)
pemandangan dari jalan paving |
Pukul 6.30 kami
berangkat menapaki jalan paving, ber-10, total 5 cewek 5 cowok, ramee. Belum-belum, sudah ada sleeping bag yang
terurai dari gulungannya, maklum, dibawa di luar packing tas. Naik sedikit
sampai di depan rumah orange, foto-foto dulu, hahahaa… yah, santai lah, masih
pagi, tak apa.
Lepas jalan pavingan,
kami mulai melihat peta yang kami salin dari pos perijinan: 3x ke kanan, dan
voilaa… kami masuk ke ladang, jalan menurun dan sempit, ewww…sepertinya kami
tersesat, hahahaa… Maka kembalilah kami ke jalan besar terakhir dan mulai
mencari tanda. Simpangan yang tergambar di peta ternyata tidak sepenuhnya
valid, yang digambarkan hanya cabang yang sangat besar, cabang kecil diabaikan,
jadi keep on watching the sign :D Setelah lewat segitiga besar, belokan dan
habis jalan tanah yang bisa dilalui motor, di antara kebun tebu, tibalah kami
di tepi hutan. Perjalanan dalam hutan diperkirakan 6-8 jam sampai tiba di
savanna. Kemungkinan terbesar kami berjumpa dengan kelompok kami yang berangkat
kemarin di dalam hutan memang, perkiraanku sekitar pukul 12, jika mereka
berangkat dari savanna pukul 9an. Yapp, get ready, vegetasi hutan sudah menanti :)
Jalanan setapak mulai
menanjak, tipis-tipis, sampai kami tiba di perempatan-katakanlah- karena di
depan kami ada 3 lorong pepohonan perdu yang semuanya seperti ada jalan. Kami
terpaksa berhenti dan melakukan cek jalur lebih dahulu, ternyata jalur yang
tengah. Sebagian besar kelompok ini pemula ternyata, sehingga dalam perjalanan
naik tipis-tipis ini, beban mulai berpindah :D
10 meter dari
persimpangan pet bocor, sebuah kelompok membangun tenda. Mereka naik tadi malam
ternyata, tapi sebelum tengah malam seperti kami tentu saja, dan cowok semua,
berlima, oke lah.. Mengisi persediaan air untuk perjalanan, tanpa mengisi
jerigen yang dibawa, kami beristirahat sebentar sambil mengobrol dengan 4 orang
pendaki yang baru turun dari pendakian kemarin. Pukul 10.15 perjalanan
dilanjutkan.
main air di pet bocor |
Tanah datar di depan
merupakan tanda sebelum masuk tanjakan, seperti yang dipesan oleh teman
provokator kami, 30-45 menit. Diawali dan diakhiri dengan tanah lapang. Bisa
untuk nge-camp kalau misalnya kami berangkat malam atau sore. Di tengah
tanjakan, kami menjumpai plang nama F-4 pada sebuah pohon, sesuai dengan yang
disampaikan pendaki yang turun: nanti ada blok V, blok S, .. Dalam hati aku
berpikir, kok seperti perumahan? Tapi siapa tahu itu memang dibuat oleh
Perhutani sebab kata Bapak di pos perijinan, hutan rakyat sudah tidak boleh
dimiliki rakyat; masuk akal. Yang agak mengecilkan hati, di tengah tanjakan,
seorang Bapak yang jujur mengatakan kalau tanjakan ini belum 25% perjalanan,
baru 15%, eaaahhhh… Cemunguth, kawann..
awal tanjakan syaitonirojin 45-60 menit |
Kelelahan di tanah
lapang setelah tanjakan, kelompok mulai memisah dalam berjalan; entah kami
berempat yang terlalu cepat atau teman-teman di belakang yang sudah kehabisan
tenaga. Perjalanan setelah tanah lapang memang tak seberapa menanjak tetapi
mlipir bukit, jadi harus hati-hati. Sampai di tanah lapang lagi, kali ini ada
tulisan jelas “Pos V”, bukan blok seperti yang dikatakan teman pendaki tadi. Di
depan ada jalur arah ke bawah, yang merupakan jalur pendakian via Dau, demikian
info dari 3 mas-mas yang sudah duduk di situ cukup lama sepertinya. Kami
memutuskan untuk isi full tank dulu karena menurut 3 mas tersebut, jalan menuju
savanna setelah ini menanjak tanpa ampun. Carrier dibuka, kompor, gas, nesting,
logistic dikeluarkan, tinggal korek, mana korek? Terpaksa pinjam kepada 3mas
dan karena ternyata mati lagi, kami pinjam lagi sampai 2kali, hahahaa…
(terakhir, korek gas biru tersebut diberikan kepada kami oleh ketiga mas
tersebut. Wah, makasih ya, mas, tau aja kami teledor meletakkan korek :D)
Selfi rame-rame di pos 5. Sisi belakang-kiri adalah jalur via Dau. |
Pukul 12.15 waktu itu.
Rombongan teman-teman yang berangkat mendahului kemarin belum juga bertemu
dengan kami, kami mulai khawatir. Ketika ada 7 mas-mas turun, kami mulai cari
info. Masih banyak pendaki yang masih bermalam lagi di puncak mapun savanna
malam ini, ada juga sekelompok yang anggota kelompoknya cidera – keseleo – saat
turun, ah..jangan-jangan ini teman-teman kami? “Ada yang jilbaban di kelompok
itu?”, kami cemas. “Ada”, jawab mereka, yang langsung menggugurkan dugaan kami.
Berarti bukan teman-teman kelompok kami. Mungkin teman-teman kelompok kami
termasuk yang bermalam lagi di sana malam ini. Plan B dijalankan: mba Sari
harus turun setelah makan, supaya tidak kemalaman dalam perjalanan di hutan.
Aku bisa saja mbarengi mba Sari turun lalu naik lagi bersama teman-teman
rombongan Kinibalu nanti agak sore, tapi di luar dugaan, 7 mas-mas tersebut mau
turun bersama mba Sari walaupun harus menunggu kami selesai makan dulu, wahhh…
banyak sekali orang baik yang kami jumpai dalam perjalanan ini ^-^
Pukul 01.15 p.m. Puas
berfoto dan bercanda ramai-ramai, kami berpisah.. Aku, mas Arga, dan Vivian
melanjutkan naik; mba Sari dan 7 mas-mas melanjutkan turun.
banyak pohon tumbang |
Sebenarnya tanjakan
menuju savanna tidak seseram yang dikatakan 3 mas tadi, tapi memang jalannya
nanjak teruss… vegetasi awalnya hutan dan melewati banyak pohon tumbang,
seperti medan jalan dari pos 3 ke 4 di Tambora, lalu dilanjutkan hutan cemara
yang habis terbakar 80%-nya, tinggal batang-batang pohon menghitam dan masih
banyak pohon tumbang –seperti vegetasi dari pos 4 ke pos 5 Tambora. Hujan mulai
turun, bukan hujan sebenarnya – hanya embun yang melebur karena suhu udara
lebih rendah daripada titik beku – tetapi cukup rapat. Kami terjang saja,
mengingat kami harus segera melewati jurang sebelum hari gelap. Jalan mlipir lagi,
sisi kiri kami tepian bukit, dan beberapa bagian tepi jalan yang kami lewati
Nampak bekas longsor, maklum, pohon-pohon yang menahan tanah bertumbangan. Di
antara naik dan turun tersebut, pada posisi yang tak cukup enak, sekitar pukul
3 sore, kami baru bertemu dengan teman-teman kelompok kami, yang ternyata turun
hari ini. Mereka semua memakai jas hujan, sepertinya di atas hujan cukup deras,
dan sempat dihajar badai karena ngecamp di puncak. Yah, say goodbye..
malah foto sepur-sepuran di tengah kabut-berembun :p |
Di balik batu, kami
bertemu sepasang mba-mas yang sudah naik ke Buthak untuk kedua kalinya, yang
kemudian kami todong mengambilkan foto-foto kami bertiga :D Lalu bertemu pula
dengan kelompok yang salah satu anggotanya cedera, mereka sih ketawa-ketiwi
waktu kami permisi lewat depan tenda mereka – mereka ternyata tidak jadi turun
hari ini, menunggu teman yang cedera sedikit membaik.
kanan kami jurang |
jurang |
Pukul 5 sore, kami
menikung ke kiri dan voilaaa… jurang. Puji Tuhan, cuaca malah sudah benderang,
tidak berkabut lagi dan tidak lagi berembun. Kami melangkah dengan hati-hati
namun senang, perjalanan kami dimudahkan. Jurang di kanan kami dalamnya sekitar
40-50 meter, seperti vegetasi di Merbabu via Cunthel, namun lebih miring
gradiennya. Sepanjang kira-kira 100 meter, didominasi dengan dasar batu-batu,
hanya 10% yang dasarnya tanah, jalan setapak di tepi jurang ini relative tidak
licin walau saat hujan, hanya tetap harus hati-hati. Beberapa waktu lalu, ada
seorang pendaki berumur 18 tahun yang lewat di tepi jurang ini hanya berdua
dengan teman pendaki yang berumur 20 tahun, saat malam, dan jatuh ke jurang-tak
terselamatkan :(
bersama mba Tri |
bersama tim yang tersisa |
awal savana |
5.30 p.m. akhirnya kami tiba di savanna.
Rasanya hilang semua lelah, seperti menemukan surga tersembunyi. Savanna
diawali dengan sedikit pohon berkayu hitam-sisa terbakar, di tengah-tengah
rumput-rumput rendah tumbuh subur di tanah datar yang luas, sampai di ujung
sana mentari mulai tenggelam, tertutup kabut juga. Sumber air, yang disebut
sendang, berada di hampir ujung dataran, dan dialirkan ke beberapa bak terbuka
yang lebih rendah daripada dataran berrumput, di sisi kanan jalan setapak. Di
dekat sendang utama, tenda mba Tri-mas Ikto, sepasang mba-mas yang bertemu kami
dan jadi fotografer dadakan tadi, didirikan. Tanah di depannya masih kosong,
jadi kami buka tenda kapasitas 4 orang-bukan tenda kapasitas 2 yang aku bawa-
di sana, sementara Vivian sudah duduk dan jatuh tidur tak bergerak-kecapaian menahan
tenda ini di tas-nya selama 7jam perjalanan kami. Ketika tenda berdiri,
berhadapan dengan tenda mba Tri, kami masak lanjut makan sehat nasi-sop-teri,
dan langsung tidur sampai esok pagi. Sempat terbangun beberapa kali karena
lapar tapi malas membuka tenda untuk masak, terbangun lagi karena
kiri-kanan-belakang kami sangat ramai kelompok yang baru datang membangun
tenda, dan terbangun lagi karena subuh banyak yang mau muncak, summit attack
ceritanya. Mas-mas dari tenda depan kami sempat mencoba membangunkan kami untuk
muncak bareng tetapi tak satupun dari kami yang mampu menjawab-saking malasnya
keluar tenda, hahahaa…
Savana tingkat 2. Nampak Mahameru di ujung tangan kanan :) |
jalan menanjak menuju puncak |
Pukul 6.30 akhirnya baru kami membuka tenda,
masak energen, nasi, mie, oseng-oseng sop, lalu bersiap muncak. Jalan sedikit
menanjak melewati bukit namun ternyata di balik bukit masih savanna, savanna
tingkat 2 :D Dari savanna ini, kami bias melihat Mahameru di antara 2 bukit di
sisi kiri jalan setapak. Untuk menuju puncak, kami bias lewat jalan setapak
lurus yang masih lewat savanna 200m lagi baru masuk hutan cemara atau langsung
ambil tikungan ke kanan dan masuk hutan. Kami pilih jalan yang lurus, yang
ternyata lebih jauh, dan tetap sama curamnya, hanya saja tidak batu-batu di
jalur tersebut sebanyak tikungan ke kanan. Alhasil, kami baru tiba di puncak 50
menit dari saat awal berangkat, padahal kata teman-teman pendaki hanya perlu 30
menit untuk muncak, hmm… tak apa, karena di ujung atas kami masih bisa berfoto
dengan latar Mahameru dan hutan pohon tua khas pegunungan – yang entah namanya
apa – yang bagus. Di puncak, masih banyak pendaki yang foto-foto dengan membawa
plang “Buthak 2868mdpl” turun dari singgasananya, duh… pendaki-pendaki 4L4Y,
gemez rasanya, kalau hilang siapa yang tanggung jawab? Maka, ketika ada pendaki
beneran yang kemudian memaku plang tersebut beberapa saat kemudian, aku jadi
senang sekali :)
mahameru di kejauhan |
puncak 2868mdpl |
dengan latar pohon khas pegunungan |
Menikmati puncak sekitar 1jam, dan bertemu
dengan teman-teman rombongan belakang yang ternyata sampai juga di savanna
malam tadi sekitar pukul 9, membuat kami turun lebih seru, lewat jalur pendek
yang berbatu-batu. Hanya 20 menit ternyata sudah sampai, kurang dari setengah
waktu perjalanan kami naik lewat jalur sebelah. Jangan Tanya metodenya, ngesot
pastinya, karena kemiringan yang hampir 90derajat. Jadi aku di depan, memberi contoh cara ngesot yang benar –ada gunanya juga ternyata- yang lain mengikuti
sambil mengambil gambar. 2orang mas-mas terdengar “gedebugan” turun
berlari-lari di samping kami, belakangan baru kami tau mereka mas gondreng dan
mas ursa mayor –bukan nama sebenarnya pastinya. Yah tak apa, tujuan utama
adalah sampai dengan selamat meskipun lambat, bukan cepat.
Di area camp, ada pula yang memanggil-manggil
namaku. Ternyata teman-teman rombongan Kinibalu juga sudah sampai tadi malam,
dan sudah muncak pagi tadi. Banyak sekali yang datang saat kami tidur ternyata,
hahahaa…
spot ngesot yang menyenangkan ;) |
Pukul 12.10 setelah makan siang mie, nasi,
sosis, dan minum hangat, serta berkemas, kami turun dalam rombongan yang naik
bersama pukul 6.30 kemarin pagi, diawali dengan doa bersama dulu, seperti waktu
akan berangkat naik. Perjalanan pulang terasa lebih cepat, selalu. Hanya dalam
waktu 30 menit kami sudah tiba di pos 5. Itu perhitungan waktu dipotong waktu
di jalan tadi sempat berhenti 3 kali karena usaha evakuasi anggota kelompok
pendaki yang kemarin sore tidak jadi turun karena cedera: digendong punggung
dengan hammock oleh mas ursa mayor, 2kali berhenti: memasang dan membetulkan
posisi, terakhir membuat tandu. Tak bisa kubayangkan sampai mana mas ursa mayor
bakalan kuat menggendong mbak yang cedera tersebut turun sementara medan jalan
seperti ini. Ternyata kelompok yang anggotanya cedera tersebut, semua belum
makan sejak pagi karena kehabisan logistic dan gas, 4 cowok – mengaku anggota
pramuka dan 5 cewek, semua memakai sepatu converse dan sejenisnya, yang
notabene licin. Ceritanya, saat turun kemarin, setelah lepas dari lewat jurang,
mbak yang sekarang cedera itu lari-lari lalu terpeleset atau keseleo dan
beguling-guling sampai 5kali, parah sepertinya. Sekarang, saat berhenti,
otomatis semua pendaki yang turun berhenti menunggu di belakang karena jalan
turun ini hanya setapak. Saat berhenti ke-3 kalinya, baru jalan sudah agak
lebar sehingga pendaki lain yang akan lewat dipersilakan oleh kelompok mas ursa
mayor. Sangat beruntung kelompok yang anggotanya cedera ini bertemu dengan
kelompok mas ursa mayor, kalau tidak, siapa yang mampu membawa turun selain tim
SAR?
evakuasi pendaki cedera
|
Di pos 5 kami tidak berhenti, hanya melihat
sampah yang kami tinggal kemarin untuk membawanya turun sekarang, tapi ternyata
sudah hilang dibawakan turun oleh pendaki lain yang baik hati :D Perjalanan selanjutnya lama, hampir seperti
perjalanan naik, karena jalan tanah yang licin. Memang kami masih ngesot-ngesot,
tapi di jalan yang agak datar tentu tak bisa dan kami harus berjalan biasa
sambil menahan alas kaki tidak tergelincir. Memang tidak membuat lapar tapi
cukup menguras tenaga. Pundak terasa lebih sakit menahan beban
tenda-nesting-sleeping bag dalam carrier saat turun daripada saat naik
ternyata, ditambah engsel lutut yang mulai bergetar, di-ping oleh entah siapa
saja :D
Sampai di jalan paving, kami memutuskan duduk
sebentar, beristirahat. Ternyata jadi lama karena setelah itu mas gondreng
lewat dan kemudian nyangkruk di tepi paving bersama kami, kalau 1,5jam aja sih
ada tuh.. Pertama membahas kelompok pendaki cedera yang digendong mas ursa mayor
tadi. Jadi mas ursa mayor dan mas gondreng ini ternyata senior-junior dari
kelompok PA di Tumpang, biasa naik-turun Mahameru. Pantas saja mas Ursa Mayor
kuat gendong mbak-mbak itu sambil turun. Mas Gondreng sendiri ke Buthak
sebenarnya baru turun dari Semeru kemarin siang lalu buru-buru menyusul
temannya, jadi hanya mengawal sekelompok
pendaki pemula, yang ternyata kami jumpai bawa-bawa plang Buthak turun dari
singgasananya itu, dan di turunan tajam tadi kami sarankan untuk ikut ngesot
berjamaah saja daripada terpeleset saat turun. Pengawalan tidak sia-sia,
buktinya para pendaki pemula tersebut aman semua, tanpa ada yang cedera. Tak
berapa lama, Mas Ursa Mayor dan teman-teman seniornya lewat, lhoo… Memang
sepanjang perjalanan turun tadi aku kepikiran juga sih, sampai di mana yang
nggendong itu kuat? Apa ngga malah nanti yang nolong yang jadi tepar? Ternyata
jawabannya kami dapatkan. Sampai pos 5. Sudah pada tak mampu lagi mereka,
daripada sama-sama sakitnya, mereka turun lebih dulu untuk meminta bantuan
teman-teman PA dan SAR di Malang. Mereka sudah meninggalkan 4 bungkus mie
instan dari 6 yang tersisa dari logistic mereka, dan sebuah tabung gas serta
kompornya, serta memberi training singkat cara memakai kompor tersebut.
Tiba di pos perijinan sudah gelap waktu itu,
sekitar pukul setengah 7. Kelompok mas Ursa mayor sudah di situ dan sedang
briefing langkah-langkah evakuasi sang cedera. Ada yang pinjam motor untuk
belanja logistic untuk support tambahan kelompok yang cedera di atas lalu
ketika ada pendaki yang naik dititipkan untuk dibawa, beserta titipan pesan
untuk membawa air lebih semampunya untuk ditinggalkan sebagian bagi kelompok
yang cedera tersebut.
Banyak pelajaran berharga dari perjalanan
emalam ini ternyata:
- Jangan
pergi naik gunung hanya cewek berdua di malam hari, bahaya.
- Jangan
meremehkan gunung apa pun, pakailah perlengkapan yang safety dan bawa
obat-obatan, minimal sandal gunung untuk alas kaki, yang tidak licin. Aku
sempat mendengar kalimat ini saat turun: Naik Panderman itu sudah biasa,
naik Buthak itu gengsinya lebih tinggi à hellooo.. naik gunung bukan soal
gaya-gayaan, yaa.. ini soal mengalahkan diri sendiri.
- Bawa
logistic H+1 (ini yang selalu diajarkan di komunitas Rinjaniholic, sih),
ya untuk keadaan gawat begini.
- Jangan
berlari saat turun kalau kita belum terbiasa, lebih baik lambat asal
selamat, daripada keseleo lalu merepotkan orang banyak seperti ini.
- Jalinlah
komunikasi yang baik dengan pendaki lain. Bantuan dan kawan akan selalu
datang dengan sendirinya :)
Ini resensi singkat timeline Pendakian Buthak
2868mdpl:
- Pos
perijinan – perbatasan hutan : 45 - 60 menit
- Perbatasan
hutan – simpang 4: 45 menit
- Simpang 4
– simpang pet bocor: 30 menit (titik air sebelum savanna)
- Pet bocor
– tanah lapang sebelum tanjakan: 30 menit
- Tanjakan –
tanah lapang setelah tanjakan : 45 – 60 menit
- Tanah
lapang – pos 5 (pertemuan dengan jalur dari Dau) : 45 – 60 menit
- Pos 5 –
tepi jurang : 2,5 jam
- Susur tepi
jurang – savanna : 30 menit (sumber air sendang)
- Savanna –
puncak: 20 – 50 menit
Semoga bermanfaat :)
Comments
Post a Comment
Please enter ur comment here...-.~