Rencana awal kami naik pada tgl. 5 Juli 2016 dan mengunjungi Danau
Gunung Tujuh pada tgl. 7-7 tahun 2016 gagal.
Demikianlah akhirnya perjalanan kami.
Naik pada tgl. 7 Juli 2016:
berangkat dari basecamp |
Berbekal nasi bungkus (nasi & telur + kentang bumbu bali pesan di
Ibu mas Sugi malam tadi), kami akhirnya berangkat pukul 5.30 dari basecamp
Kersik Tuo, naik pick up disertai 5 teman porter (3 porter kelompok & 2
porter pribadi) dan 4 pendaki lainnya.
Tiba di pintu rimba, carrier diturunkan dan kami berdoa bersama
dahulu, termasuk mas-mas dari Jakarta dan Tangerang dalam 2 rombongan lain.
Masuk pintu rimba pukul 6.30.
pos 1 Bangku Panjang |
pos 2 Batu Lumut |
Tiba di pos 3 pukul 8.14, jadi waktu tempuh sekitar 45 menit dari pos
2. Di post 3 ada semacam pendopo dengan semenan dan atap, ada mata air di sisi
kiri jalan setapak (ada papan petunjuk).
Setelah pos 3, ada pantangan yang perlu diperhatikan dalam perjalanan
menuju shelter 1. Setelah sekitar 15-30 menit perjalanan dari pos 3, ada pohon
besar dengan lubang di tengah batangnya, membentuk seperti gua, dan ada pohon
besar bertulis merah pilox tumbang melintang menutup depan pohon bergua
tersebut. Para pendaki dilarang berhenti, mengambil gambar, atau mengusik pohon
tersebut.
brunch di shelter 1 |
pohon rindang di shelter 1 |
shelter 2 yang sempit |
salah satu jeram shelter 2 ke 3 |
tanjakan antara shelter 2 ke 3 |
Mentari mungkin terlalu cepat muncul, atau kami yang terlalu lama
berjalan, sehingga ketika ia muncul kami masih berada di sekitar batu gantung,
belum lagi mencapai Tugu Yuda. Tapi taka pa, moment sunrise di Batu Gantung pun
cukup menakjubkan, dan bagus untuk diabadikan dalam foto. Memang malam tadi Pak
Wondo, salah satu dari porter yang mendampingi kami, menyarankan untuk naik
menjelang fajar saja, karena moment di Batu Gantung lebih bagus daripada moment
sunrise di puncak. Sampai Tugu Yuda sekitar jam 6 dan puncak tampak jelas
tinggal sedikit lagi, meski ternyata tak secepat yang kami bayangkan juga untuk
melaluinya. Butuh waktu sekitar 45 menit dari Tugu Yuda, hahahaa… Tugu Yuda
sendiri adalah plakat berupa semacam prasasti peringatan pendaki yang hilang di
Gunung Kerinci. Ada 3 prasasti yang diletakkan di sana, termasuk Setiawan, yang
pencariannya sempat membuat kebingungan banyak pihak karena sangat minim petunjuk.
puncak kerinci 3805 mdpl, volcano tertinggi di Indonesia |
kemiringan jalur menuju puncak |
Perjalanan turun tidak selama penjalanan naik tentu saja, tetapi toh
menguras isi perut kami, laparr… jalan dengan kemiringan besar dan kerakal
macam ini sangat mengasyikkan untuk digunakan serusutan -istilah kerennya ngesot- sebenarnya, hanya saja
tak semulus serusutan di medan pasir Semeru, tapi tidak bisa juga seenak
serusutan ski seperti di Rinjani. Yahh..paduan antara keduanya lah.. Paling
enak menggunakan trackin poll sebenarnya, bisa sky pasir-kerakal. Tapi hati-hati ya, kawan, pastikan jalur serusutan tetap lewat Tugu Yuda dan tonggak besi berwarna kuning di ujungnya, kalau tidak, bisa-bisa mengalami nasib seperti Yuda atau kawan pendaki yang hilang di blank 75 Semeru. Saking asyiknya serusutan, dari atas Tugu Yuda, biasanya pendaki tergiring masuk jalur kiri Tugu Yuda - kalau dari puncak- , yaitu jalur berpasir dengan jalur air yang cukup terlihat jelas seperti jalur pendakian -padahal bukan- seperti yang dialami Pak Beni-Ajoe dan mas Anggi-Pratama. Mas-mas tersebut lewat sana ketika naik, untungnya mereka selamat sampai puncak dan baru menyadari kalau perjalanan naik mereka tadi tidak lewat Tugu Yuda, sehingga perjalanan turun mereka lebih berhati-hati supaya tetap lewat Tugu Yuda. Pak Beni-Ajoe yang hampir saja celaka. Batu besar -nampak stabil- yang diinjak Pak Beni sebagai tumpuan di jalur tersebut tiba-tiba saja lepas dan mengenai kakinya, yang tentu saja menghasilkan memar dan celana sobek, cukup amazing. Ajoe yang melihat di belakangnya panic tapi hanya bisa berteriak-teriak memanggil "Bapak, Bapak", yah mau apa lagi juga kan bingung. Untung tidak lebih parah daripada itu dan sweeper Brams berteriak dari atas, mengingatkan untuk kembali ke jalur utama. Sekali lagi, obat memar perlu dibawa, dan karena P3K kami terlanjur tidak dilengkapi obat tersebut, kami hanya bisa menyiram luka Pak Beni dengan rivanol.
Kami mencapai camp di shelter 3 lagi setelah sekitar 1jam perjalanan turun, dan langsung menyerbu makanan yang sudah disiapkan oleh mas Franky, mas Wawan, Pak Wondo, dan mba Tio-yang hanya mau muncak ke gunung yang puncaknya ada pepohonan. Sayur sop yang penuh jebakan irisan cabe pun habis. Nata de Choco juga, sikatt.. lalu segera berkemas turun karena langit sudah mulai gelap.
Kami mencapai camp di shelter 3 lagi setelah sekitar 1jam perjalanan turun, dan langsung menyerbu makanan yang sudah disiapkan oleh mas Franky, mas Wawan, Pak Wondo, dan mba Tio-yang hanya mau muncak ke gunung yang puncaknya ada pepohonan. Sayur sop yang penuh jebakan irisan cabe pun habis. Nata de Choco juga, sikatt.. lalu segera berkemas turun karena langit sudah mulai gelap.
camp shelter 3 dari perdu di jalan menuju puncak |
Kami sempat hilang arah, lupa jalan yang kemarin sore kami lewati saat
naik, dan akhirnya kami memilih melipir
lewat tepian jalur air nan terjal lagi, huahh… Makin lama aku makin tertinggal
dari Pak Beni, Ayu, dan mba Sari. Gravitasi menjadi ancaman terbesarku. Mba Tio
di depan memberi contoh pijakan yang terbaik, tapi toh di beberapa titik aku
masih kelabakan sehingga Kefas harus tergopoh-gopoh menjaga dari sisi bawah.
Dan terakhir, yang paling dalam, harus bergelantung pada akar pohon. Bisa
mungkin, kalau ceritanya aku sedang naik, masalahnya ini sedang turun, dan
hatiku mendadak menciut 30%. Terakhir aku disarankan untuk lompat, setelah
beberapa contoh cara turun diperagakan oleh para porter, yang tiba-tiba sudah
menyusul kami, dan seorang dari antara mereka menangkapku di sisi bawah jeram,
huaahh beneran :(
Jalanan berikutnya ya masih susah, tapi yang paling susah sudah terlampaui
lahh, puji Tuhann…
Kami sempat berhenti di beberapa titik tapi tak lama, mengingat target
kami sampai pintu rimba sore ini. Di bawah shelter 2 kami terpaksa mengenakan
jas hujan, tampaknya mulai deras. Banyak pendaki yang naik hari itu, dan
kebanyakan tidak memakai jas hujan. Mungkin mereka ini yang cukup kuat berdoa
sehingga ketika kami sampai di shelter 1, hujan tak lagi menetes. Kompor
dinyalakan, bersyukur para porter yang membawa perlengkapan logistic masih
berisitirahat di sini juga, memasak energen dan air hangat untuk mbak Sari yang
sempat muntah-muntah karena masuk angin.
Perjalanan selanjutnya sangat lancar, rasanya lebih ringan setelah
dihajar jalur maut di awal :D
Total perjalanan turun kami 6 jam. Pukul 18.30 kami tiba kembali di
basecamp lalu berdoa mengucap syukur atas semua perlindungan Tuhan dan semua
orang baik di sekitar yang selalu siap sedia menolong kami.
Rangkuman Timeline perjalanan:
Pintu rimba – pos 1 : 30
menit
Pos 1 – pos 2 :
30 menit
Pos 2 – pos 3 :
45 menit. Ada mata air.
Pos 3 – shelter 1 :
1 jam 40 menit. Pantangan berhenti di daerah pohon besar berlubang seperti gua
dengan pohon melintang di depannya. Shelter 2 luas, ada atap plastic 3 x 3 m.
View kota terlihat dari shelter 1.
Shelter 1 – shelter 2 : 30
menit. Jalur terpanjang. Ada 3 shelter bayangan. Akar-akar pohon dan mulai ada
beberapa jalur air sempit dan dalam. Shelter 2 sempit, hanya bisa sebuah tenda
+ 4 tenda di dataran bawah.
Shelter 2 – shelter 3 :
4jam 30 menit. Jalur maut; 90% jalur air dalam dan sempit, sisanya melipir sisi
sempit di kiri-kanan jalur air. Shelter 3 luas, bisa sampai 10 tenda. Ada
mata air.
Shelter 3 – puncak :
3jam 30 menit. Jalur awal perdu rendah, lalu pasir-kerakal; kemiringan 45 – 60
derajat.
Perjalanan turun dari shelter 3 ke pintu rimba total 6 jam.
Comments
Post a Comment
Please enter ur comment here...-.~