Dari Logawa sampai Revisi Undang-undang Agraria

Memandang hijau petak-petak sawah dari balik jendela Logawa pagi ini membuat ingatanku melayang pada sebuah kelas malam di sebuah Universitas swasta, yang notabene alamamaterku, dari seorang Ibu Dosen Ekonomi.
Di Indonesia para petani tidak menjadi apa-apa, jauh berbeda dengan petani di Inggris, tempatnya sedang menempuh study lanjut sekarang. Di sana, petani bisa punya lahan minimal 1 hektar, traktor sendiri, mesin pengolah gadum sendiri, bahkan pesawat penyemprot hama sendiri. Amazing kan?
Mengapa bisa begitu? Karena di sana ada hukum agraria yang tidak mengizinkan pembagian sepetak tanah besar menjadi petak-petak kecil demi pembagian warisan, seperti yang umum diterapkan di Indonesia. Karena petak tanah besar, maka petak tersebut bisa diakses secara finansila, istilahnya dana-nya bisa di-leverage atau bisa menjadi pengungkit untuk kepemilikan finansial yang lebih besar.
Biasanya, tanah diwariskan kepada salah satu anak saja, sementara anak-anak yang lain dianggap sebagai pemilik saham dalam kepemlikan tersebut. Sekutu pasif, mungkin itu istilah yang aku ingat dari pelajaran ekonomi saat SMP dulu, yang secara berkala mendapatkan imbalan jasa dari saham yang dimilikinya.
So, perlu revisi Undang-undang Agraria yang ditunggu-tunggu di Indonesia.

Terima kasih sudah menambah wawasan dan berbagi salah satu bahan mentah materi thesis-nya kepada kami ya, bu Herlina S.E., M.Comm., seorang ibu hebat anggota PKI, demikian aku-nya, singkatan dari Perempuan Korban Ilmu  
Karena sudah mendapat wawasan baru, aku pun merasa harus membagikannya kepada yang lain supaya bumbung yang sudah penuh ini tidak tumpah sia-sia dan bisa diisi dengan hal-hal baru yang nanti akan ditumpahkan lagi ^-^

Keep on learning, discussing, and sharing. Happy Monday

Comments