Pendakian Gunung Ringgit via Indrokilo Talunongko Pasuruan

Padahal udah nanjak sama Iron Man, masih aja nyasar dengan Sukses ^_^
Apa gak beneran tim Sar kami ini?
Tim Wani Kesasar (baca: Nyasar) :p :p :p

Kami ini anak baik-baik, dan taat beragama,
meskipun kadang beragama maupun tak beragama tetap salah bagi penganut moBokrasi.
Maka kami ingat betul pesan Ibu Theresa dari Calcuta, "Pilihlah Selalu jalan yang tersulit :)"


Siapppp, laksana kan Ibu..
Dan kami sudah siap nyasar dengan pilihan yang tersulit :D

Tapi apa sih yang lebih asik daripada nyasar bareng dan meskipun Udah tau jelas-jelas nyasar,
Kita bisa duduk berdiskusi di puncak gunung (baca: kebun kopi penduduk) dan membicarakannya baik-baik :D
Dan pagi-pagi Kita masih bisa tergelak sama-sama atas kegilaan Kita =D
Nyasar itu pilihan, gaes =)) -.-

It's really a blessing for me meeting u all, my friends.. 
Big huggg ^__^


Pertama

salah satu percabangan di "gunung ringgit" :p
Pertama kali ke Gunung Ringgit ber-11 dengan 6 motor. Minim info tentang Gunung Ringgit Indrokilo Pasuruan ini memang. Dari mas Riswanda, yang sudah pernah ke sana namun belum sampai puncak, kami peroleh informasi kalau jalan masuknya dimulai dari Jalan Indrokilo, 1 gang setelah Taman Dayu. Berdasarkan info itu, kami melaju, dan sempat kebingungan di pertigaan pada jalan menikung dan menanjak cukup tajam. Beruntung di sisi kiri jalan ada beberapa mas-mas yang sedang cangkruk sehingga bisa kami mintai info jalan. Kami menikung ke kiri, lalu naik, menikung, naik, naik, menikung sampai mesin motor kami menggerung keras terkaget-kaget dengan tanjakan menikung yang cukup ngeri ini. Aku sampai berencana turun dari motor saking takutnya motor mundur karena terlambat mengoper gigi atau tak kuat melaju naik fiuhhh… Ada pasar malam waktu itu, sepertinya sedang ada yang kondangan. Maju sedikit, kami menemukan jalan berakhir dengan gerbang dan jalan paving menuju atas, lalu tikungan semen ke kiri arah rumah warga, dan tikungan ke kanan yang gelap dan di sisi kirinya ada rumah kayu besar bertuliskan Padepokan Indrokilo. Voila… kami senang menemukan kata itu, sesuai harapan kami. Maka kami masuk dan mengetuk pintu cukup lama tetapi tak ada seorang pun yang keluar. Mungkin penghuninya sedang ikut acara kondangan di bawah.
Hampir putus asa, kami mencoba rumah di jalan semenan. Ternyata rumah terdekat dengan jalan masih ada orang yang terjaga dan melihat TV, bisa terlihat dari luar jendela kaca. Maka kami ketuk malam itu, sekitar pukul 23.00 dengan rasa sungkan yang dalam. Tak disangka, mas yang membukakan mempersilakan kami numpang parkir di rumahnya dan menggusur sofa tempat menonton TV menjadi tempat parkir motor dalam ruang tersebut. Setelah bertanya berapa lama kira-kira untuk sampai puncak dan sumber air, kami berdoa untuk mengawali perjalanan pendakian ini, lalu mulai mendaki sekitar pukul 00.00
Pendakian kami diawali dari gerbang memasuki jalan pavingan menanjak. Melewati beberapa rumah dan beberapa tikungan yang masih berupa jalan pavingan dan kemudian berganti menjadi jalan semenan. Ada beberapa bagian jalan yang sudah rusak dan “bongkar” semennya. Lalu kami sampai pada percabangan pertama: jalan tanah menanjak vs jalan semen datar lalu menurun. Logika kami langsung memilih jalan tanah menanjak, jalan semen datar itu mungkin mengarah ke rumah warga di kampung sebelah. Oke, kami lanjut melaju. Jalan sudah tanah sekarang, masuk hutan pinus dengan beberapa cabang kecil yang mengarah ke dalam kebun dan rumah penduduk. Kami lanjut lurus. Cabang besar berikut adalah setelah kami berisitirahat di sisi kebun penduduk, setelah sebuah rumah di dalam kebun yang dijaga beberapa anjing yang menyalak ramai ketika kami lewat. Cabang ini yang kiri menanjak sementara yang kanan datar. Yahh.. kalo mau ke puncak kudu yang nanjak dong ya? Jadi kami pilih yang kiri, joss.. Agak curiga aku ketika jalan setapak yang kami injak tertutup rumput-rumput yang masih lumayan segar, seperti jarang dilewati. Namun kami terus saja, apalagi tak lama kemudian, tampak puncak di ujung atas sana. Wuhuuu… kok ternyata dekat ya? Dan ternyata nggak lewat sumber air indrokilo atau pun Goa Gambir? Aku mulai curiga, namun kusimpan dahulu dengan harapan kecurigaanku salah. Siapa tahu ini akan seperti Gunung Pundak via Puthuk Siwur yang belum nge-hitz waktu kami ke sana. Lanjutt..
Jalan berumput tinggi habis, digantikan beberapa pohon kopi dan diakhiri turunan melewati beberapa pohon pisang. Di atas jalan turunan, Nampak sebuah gubug kecil. Hmm.. bisa jadi ini pos Indrokilo? No one of us know it yet :D Om Stanis yang berjalan paling depan Nampak kebingungan, tanda-tanda jalan setapak hilang. Maka rmbongan belakang berhenti dahulu. Om Stanis, Iron Man, dan aku berpencar dalam 3 arah mencari jalan. Tak ada yang mendapat, bahkan di belakang gubug, hahaha… baiklah.. Kami kembali ke kelompok dan minta semua duduk, di antara pohon pisang dan pohon kopi. “Duduk dulu, mari kita bicarakan baik-baik”, aku membuka diskusi lewat tengah malam itu :p Kami mulai mengevaluasi percabangan yang mungkin merupakan awal kami nyasar: cabang pertama-tidak mungkin karena jalan semen turun, cabang ke-2 : tidak mungkin karena datar sepertinya mengarah ke ladang penduduk; kami tak tau yang mana yang salah atau benar tapi untuk kembali jauh dan beresiko nyasar juga. Berhitung logistic: makanan cukup, air cukup-walaupun sumber air tak ditemukan pun. Maka, kami putuskan maju sampai ujung terakhir di mana kami bisa mendirikan 2 tenda dome dan 2 flysheet. Okay.. Kami bangkit dan mulai naik lagi, mengarah ke kiri gubug lalu mengikuti jalan datar di antara rerumputan dan perdu yang masih tampak tersisa. Di ujung jalan, jejak hilang. Untuk mengarah ke puncak yang tinggal secuil lagi itu tak ada jalan. Hmm.. kami putar balik. Kembali ke arah gubug, agak turun sedikit, ada sisa gubug lain yang lebih besar, cukup untuk 2 flysheet dan 2 dome. Nice ^__^ Sebenarnya masih penasaran karena puncak sudah kelihatan tepat di ujung hidung kami. Aku mencoba masuk ke salah satu perdu yang mengarah lurus ke puncak, mengiktui iron man. Perdu makin tinggi, melewati kepala kami, dan batang pohonnya berduri. Pisau dapur kukeluarkan, tapi tak mampu menebas perdu-perdu tersebut tentu saja, hahaha.. Ku minta iron man memastikan puncak yang kami lihat tepat di depan itu benar puncak atau hanya atap  daun dari pohon di depan; ternyata jawabannya yang terakhir.
So, bongkar muatan di sini aja deh. Sudah pukul 2 dini hari lebih waktu itu. Ngantukk.. tenda didirikan, flysheet dibentangkan di atas rangka gubug, lalu logistic dikeluarkan. Masak mie, kopi, susu, coklat, lalu bersiap tidur. Cewek-cewek di dalam tenda, cowok-cowok di gubug beratapkan flysheet.
Nyenyak kami tidur, sampai pagi baru kami bangun karena panggilan biologis :D Lalu masak nasi, chicken nugget dengan wajan teflon yang dibawa oleh Mas Widi dkk, telur scrabble, dan mie. Nyam nyammm... kami ribut masak dan makan, sampai tak ingat lagi kita benar di Gunung Ringgit atau bukan :p
bersama Bu Tariah yang kebunnya kami tumpangi :D
Setelah puas foto-foto, makan, dan packing, kami turun. Dalam perjalanan turun, kami sempatkan mampir ke rumah yang dijaga banyak anjing yang malam tadi ramai menggonggong. Ibu Tariah dan suaminya yang tinggal di situ berdua saja. Ternyata, tempat kami nge-camp semalam adalah ladang kebun mereka, hahaha... maaf, Bu, Pak.. Dan ternyata, dari kebun itu bisa saja tembus ke Candi Laras, di bawah Goa Gambir, hanya saja harus tau jalannya. Jadi, bisa lewat kebun lalu turun jurang sedikit atau dari pertigaan di atas rumah Bu Tariah ambil jalan setapak yang arah lurus, bukan belok kiri menanjak. Kalau mau lewat jalan yang normal, dari pertigaan pertama kami seharusnya pilih jalan semen lurus lalu turun, bukan belok kiri menanjak. Hyaa...Yasudahlah… berarti kami harus remidi next time, hahahaa..

Kedua
Pengalaman ke-2 ke Ringgit kali ini tidak lewat Jalan Indrokilo yang mendebarkan saat tanjakan naik lagi tapi lewat belakang yaitu Jalan Pasar Palang. Jalan yang dilalui memang tak securam Jalan Indrokilo, tapi tak bisa juga dibilang landau, yaa..namanya jalan ke gunung ya pasti naik-naik lah ya..
bersama Pak Yajid

Dari Raya Pasar Palang seharusnya lurus saja mengikuti bentuk jalan sampai pintu gading terakhir ke Taman Safari. Sayangnya entah karena acara apa malam itu, pintu masuk ke Jalan Pasar Palang ditutup sehingga kami terpaksa memutar elwat pintu gading besar Taman Safari. Tembus juga sih, di belakang Pasar Palang. Sampai di pintu gading terakhir, aku kehilangan arah ke Dayurejo. Teman-teman yang lain tidak ada yang tau, jadi, turunlah aku seperti biasa, dan bertanya kepada penduduk yang masih terjaga malam itu. Kami kebablas sedikit, jadi putar balik sedikit, lalu belok kanan kalau dari jalan utama Raya Pasar Palang. Jalan ini lewat perkampungan penduduk, aspal sih.. namun turun cukup terjal dan naik. Masih naik lagi sedikit lewat depan Kaliandra Resort, lalu ada pertigaan tempat tambal ban, yang aku ingat di situ dulu Mas Haris pernah akan menambal bannya saat turun dari Ringgit pertama kali. Baiklah, berunding sebentar lalu kami putuskan lurus, karena taka da orang yang masih terjaga dan bisa kami tanyai. Jalan lurus ini melewati kebun tebu, kalau tidak salah, karena tak Nampak jelas dan taka da lampu. Untunglah jalannya datar. Agak cemas juga kami lewat, 3 motor berjalan beriringan lambat sebab takut aka nada begal atau apa pun itu di jalanan gelap ini. Di tengah jalan, kami melihat sayu-sayup beberapa pemuda sedang berkumpul. Yah baiklah aku turun lagi untuk bertanya. Jawabannya sangat melegakan, jalan yang kami lalui benar menuju rumah Pak Yajid, horeee… Dan ternyata, itu sudah sangat dekat. Wow..

Yak, setelah pamitan dari rumah Pak Yajid, kali ini setelah meneguk masing-masing segelas the panas yang dihidangkan, kami beranjak naik menapaki jalan semenan yang beberapa bagiannya sudah rusak. Beberapa teman sudah mulai tersengal ketika jalan mulai naik melewati beberapa rumah warga. Untunglah tak lama kemudian jalan datar, sedikit menurun melalui jembatan semen dengan pagar besi, lalu baru mulai naik lagi memutar. Yap, ini persimpangan tempat kami dahulu tersesat karena salah prediksi :D Kali ini tidak salah lagi. Jalanan mulai masuk hutan dengan tanah yang padat dan berlumut sehingga cukup licin, meski masih ada sebagian yang tidak. 1,5jam kami berjalan dan tiba di sebuah pondokan dengan tulisan Satriyo Manggung. 
Kami bertemu dengan beberapa bapak yang tadi suaranya terdengar di depan kami saat berjalan. Di sini ada sebuah pondok dengan dinding dan atap seng serta sebuah pendopo terbuka beratap seng, berlantai keramik. Pondok tertutup merupakan tempat pemujaan, sedangkan pendopo merupakan tempat bagi para peziarah yang ingin beristirahat. Menurut info bapak-bapak ini, yang ternyata bertujuan ke Pertapaan Indrokilo juga, perjalanan ke pertapaan Indrokilo baru setengah jalan jika sampai di Pos Satriyo Manggung ini. Tak ada air di sini, jadi ngecamp pun cukup susah, meskipun seorang teman sudah mulai putus asa. Maka mau tak mau kami lanjut naik pelan-pelan.

Benar sekali informasi dari para bapak tadi, sekarang jalan lebh licin karena lebih banyak lumut pada tanah pekat, menandakan jalur ini lebih jarang dilalui manusia, dan lebih menanjak. Hati-htai kami melangkah supaya tidak tergelincir, dan sempat lompat sana sini memilih jalan tanah yang lebih minim lumut. 2 jam kemudian baru kami tiba di gerbang semen bertuliskan Adigang Adigung bercat warna merah putih, Merdeka!! 
Tiba juga akhirnya di Pertapaan Indrokilo pukul 3.30 dini hari. Mau tidur tanggung, tapi ngantuk banget. Maka kami buka 2 tenda seperti biasa, pada tanah datar tak jauh dari gerbang, dan ternyata di depan makam (kami baru tahu pagi hari saat mentari sudah muncul di ufuk timur). 2 flysheet cukup menutupi area antara kedua tenda sehingga kami bisa sedikit memasak air dan mie untuk memanaskan perut lalu tidur. Aku dan mas Ibnu mencoba mencari sumber air dan kami putuskan untuk naik tangga di sisi belakang makam. Ada beberapa pondokan di sana dan ada penghuninya juga. Kami bisa ambil air dari sana. Terima kasih, Pak J

Pagi pukul 6.00 sudah ada teman-teman yang bangun lagi jepret sana-sini sementara yang lain baru bangun sekitar pukul 7. Masih ngantuk sebenarnya tapi sudah terang di sekitar. Kami melihat-lihat situasi sekitar, menyadari area camp kami yang di depan makam, lalu mencari kamar mandi haahahah…
Untunglah seorang bapak peziarah, yang ternyata juga dari Surabaya, sangat baik hati menunjukkan kamar mandi dan beberapa info penting. Maka, setelah ritual pagi dan makan seadanya selesai, kami naik ke Candi Laras dan Goa Gambir. Tidak semua, miss Lya dan ce Ling-ling tinggal di camp untuk menghemat tenaga. Kami berempat lanjut ke atas tanpa membawa full beban selain air dan snack untuk minum. Sekitar 1 jam berjalan, kami tiba di Candi Laras. 

Ada 2 pondok berdinding dan atas seng di sini. Di depan kedua pondok tersebut ada pendopo di tempat yang lebih tinggi, dengah sebuah tempat pemujaan dan tangga batu menuju ke sana. Seluruh dinding belakang pendopo dipenuhi kain panjang berwana merah putih. Sangat Indonesia, dan itu membuatku sangat terharu. Bahkan zaman dahulu saja orang sudah sangat nasionalis, mengapa sekarang justru banyak yang berusaha memecah belah Indonesia? Hanya untuk kepentingan perut mereka masing-masing? Dengan mengorbankan bahkan nyawa dan pikiran banyak orang? Biadab

bersih-bersih Goa Gambir
Kembali ke Candi Laras. Aku ingat penjelasan Ibu Tariah ketika kami camping nyasar ceria di kebunnya, dari kebun di punggungan sebalh itu, bisa tembus ke sekitar Candi Laras ini. Menurutku pribadi, jalan tembus itu ada di dekat pondok bamboo yang berjarak sekitar 5 menit di belakang tempat pemujaan Candi Laras. Banyak pohon pisang di sana. Maju lagi sekitar 5 menit, kita akan menjumpai jalan setapak arah turun dan jalan potong ke kanan yang kelihatan memotong kompas, seperti mbrasak di antara ilalang tinggi. 
Jalan setapak turun itu menuju ke Goa Gambir. Goa Gambir berbentuk seperti ceruk batu dengan sebuah tempayan tanah liat diletakkan di dalam ceruknya. Fungsi tempayan itu adalah untuk menampung air tetesan dari batu dan air hujan. Lantai ceruk sendiri cukup untuk bersila 2 orang normal, dan memang biasanya dipakai untuk bertapa orang yang nglaku
Kembali dari Goa Gambir, kami coba jalur mbrasak di antara ilalang tinggit tadi dan voilaa… puncak nampak di sana. Hmm.. ya kalau sampai puncak kira-kira 3 jam lagi lah.. Kami berhitung waktu dan yahhh, tak cukup buat kami naik lalu turun lagi dan sampai di rumah Pak Yajid sebelum gelap. Maka kami urungkan niat untuk muncak sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Nanti, lain kali, entah kapan, kami akan remidi sampai puncak :p
Jadi inilah rangkuman perjalanan ke Gunung Ringgit Pasuruan:
jalan menuju puncak gunung ringgit 

Ketiga

Ketiga kalinya ke sini, akhirnyaa.. untuk melunasi puncak, hahaha...
Berangkat dari warung bawah dan setelah mengiri air dari rumah Pak Yajid, kami mulai perjalanan naik sekitar pukul 12, setelah makan siang. 
Langit sedang cerah-cerahnya. 



Menjelang jembatan di atas sungai kering, sekarang sudah ada gapura dari bambu dengan banner sambutan selamat datang di area pertapaan Indrokilo.



Jembatannya masih tetap sama, berdiri kokoh di atas sungai kering













savana lembah kidang-nya Gunung RInggit

tanjakan terakhir sebelum puncak
puncak Gunung Ringgit




  • -          Rumah Pak Yajid – Pos Satriyo Manggung             : 1.5 jam
  • -          Pos Satriyo Manggung - Pertapaan Indrokilo       : 2 jam
  • -          Pertapaan Indrokilo – Candi Laras             : 1 jam
  • -          Candi Laras – Goa Gambir                            : 5 menit
  • -          Goa Gambir – Puncak Ringgit                      : 3-5 jam

Comments

  1. Thanks gan, Nice info, boleh share foto pas di puncak ? Pernah kesana 2012 tpi tidak sampi puncak karena cuaca ekstrem, akhirnya turun dan istrhat di tempat pertapaan

    ReplyDelete
    Replies
    1. thx udah mampir ke blog ini, gan.
      kami juga belum sampe puncak kok, kak, cuma sampe goa gambir & lihat jalan menuju puncak aja. Lagi ngejar waktu jadi g nerus puncak soalnya dari goa gambir kyk masih 3-5 jam gitu naiknya :D

      Delete

Post a Comment

Please enter ur comment here...-.~