Timeline Pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho

Pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho:


Ø 13 Mei 2015:
o Kumpul di rumah Kak Lian pukul 19.30 lalu bersama-sama naik angkot Q orange ke terminal Bratang.
o 20.00 kumpul di Terminal Bratang
o   21.00 sampai Bungurasih kami ber-13 berangkat ke Solo dengan naik bus, yang untungnya ada tanpa perlu ke garasi bus di Sepanjang, dan setelah pulang baru kami sadar kalau bus tersebut adalah Sumber Kencono (uang jago jalanan itu), dengan tarif Rp. 60.000
Ø  14 Mei:
o   05.34 tiba di terminal Tirtonadi
o   Rencana untuk ikut misa di gereja Purbayan - Solo batal, karena angkutan ke sana ruwet dan tidak ada yang tersedia pada pagi subuh itu, padahal jadwal misa pagi di Gereja Purbayan adalah pukul 05.30 dan 07.00, Kalau ikut misa pukul 07.00 di Purbayan, kami akan kesiangan naik. Sebenarnya, sebelum sampai di Tirtonadi, kami bisa turun di Palur atau Kartasura, lalu langsung ambil angkot ke Gereja Purbayan. Tetapi karena sudah terlanjur maka kami putuskan untuk misa di Paroki Pius X, Karanganyar, paroki terdekat dan dilewati bus arah ke Candi Cetho dengan naik bus kecil jurusan Tawangmangu, lalu turun di Gereja Karanganyar untuk ikut misa Kenaikan Yesus ke Surga pukul 07.00.
o   06.30 kami tiba di Gereja Pius X, Karanganyar. Masih sunyi sepi, hanya ada seorang ibu di depan gerbang. Dari ibu tersebut, kami tahu bahwa hari itu misa bukan pukul 07.00 seperti jadwal misa minggu biasa tetapi pukul 07.30, jadi kami masih punya waktu untuk cuci muka dan ganti baju yang lebih layak. Ternyata, lebih dari yang kami harapkan, kami diterima dengan sangat baik oleh ibu tersebut, diantar kepada bapak koster, dan dipertemukan dengan OMK setempat dan Romo Paroki. Kami dipinjami 1 ruangan, yang biasa dipakai untuk kegiatan BIAK, untuk meletakkan barang-barang, sementara kami mandi dan lalu ikut misa.
o   07.30 misa di gereja
o   09.00 makan di warung samping gereja
o   Gereja Karanganyar – KarangPandan (bus kecil): Rp. 10.000 (urunan 50.000 ke Gorby untuk angkot dari terminal Solo - Cetho)
o   Karang Pandan – Kemuning        : Rp.   4.000
o   Kemuning – Cetho                          : Rp. 15.000
o   Tiket + registrasi                               : Rp.   3.000 + 10.000
o   Tiba di gerbang Candi Cetho, hujan deras belum juga reda. Kami tunggu agak reda dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Langit masih mendung tebal dan gerimis masih mengguyur, mau tak mau kami harus mulai jalan, target kami pos 5 karena dari catper yang kami baca, jarak tempuh pos 4 ke 5 hanya 25 menit.
Petugas menyarankan kami melipir lewat jalan setapak di samping luar candi sebab untuk masuk candi kami harus memakai sarung yang dipinjami (dengan membayar ongkos sukarela) oleh pihak pengelola candi sehingga harus turun lagi ke registrasi untuk mengembalikan kain tersebut.
Perjalanan langsung menanjak lewat jalan setapak yang diawali dengan jalan semen-an sampai toilet lalu berganti menjadi jalan tanah selepas toilet. Sampai di sisi atas candi, kami turun menyusur tepi sungai kecil, menyeberang, lalu naik menuju Reco Kethek.
o   Cetho - Reco Kethek                      : 1 jam
o   Reco Kethek – Brak Seng              : 45 menit
Di Brak Seng ada shelter dari banner-banner bekas untuk dinding dan atap dari seng, hanya cukup untuk 5 orang saja. Dataran depannya bisa untuk 2 tenda.
o   Brak Seng – Cemoro Dowo          : 1 jam
Tiba di Cemoro Dowo sudah mulai gelap namun karena dari catper yang kami baca, jarak tempuh pos 4 ke 5 hanya 25 menit, maka kami lanjut dengan target pos 5 (Bulak Peperangan). Nyatanya, sudah lebih dari setengah jam kami berjalan, tanda-tanda keberadaan pos belum juga nampak. Hari sudah gelap, jalan sempit di antara pepohonan yang lebat dan jarak Felix di posisi terdepan dengan Ghorby di posisi sweeper cukup jauh, membuat suasana cukup...mencekam. Apalagi, setelah Felix bertanya siapa yang baru saja melintas di belakangnya, yang ternyata bukan satu pun dari kami, wkwkwk... mungkin kijang... kami menghibur diri, lalu mulai bernyanyi lagu-lalu rohani untuk menggantikan doa :D
45 menit berjalan, mbak sari mulai mengeluh sakit perut, maag nya kambuh. Domi sudah berulang kali tersungkur-sungkur membawa beras di dalam tas-nya. Maka kami putuskan berhenti dulu untuk mencari area camp terdekat dari tempat tersebut. Felix dan Edo naik mencari. Ternyata sekitar 10 menit di depan sudah camp 4, maka kami putuskan saja camp di sana meskipun lahan tak terlalu luas.
Keril mbak Sari dibawa Edo, sambil membawa kerilku, sementara keril Edo aku bawa.
o   C. Dowo – Penggik                          : 1 jam
Tenda langsung dibangun, makanan dan minuman hangat dimasak. Menu kami malam itu ajaib: mie instan sop lengkap dengan kentang rebusnya, wkwkwk...
Para pasien segera diminta makan dan masuk tenda. Domi langsung luluran kaki dengan Hot & Cream, lalu misuh-misuh tengah malam karena ternyata cream itu jadi dingin kalau sudah lama nempel di kulit :D
Ø   15 Mei: 
o   mulai trekking dari camp 4 setelah sarapan, sama: mie instant sop dengan kentang rebusnya. Yah maklumlah, kami bawa kentang rebus setengah matang banyak dan ternyata sudah hampir busuk karena masuk tas ketika masih mengepul panas, jadi kentang harus segera habis wkwkwkwk.
Perjalanan menuju pos 5 yang “katanya” 25 menit itu kami cek kebenarannya sekarang. Kami harus melewati dahulu hutan mati yang jalannya naik dan berliku, tak sampai-sampai, sehingga Edo dan Ghorby tertidur di tepi jalan sambil menunggu Domi yang berjalan pelan2 di belakang. 
Kami tiba di savana di akhir hutan mati lalu berfoto ria sambil menunggu 3 serangkai sampai. Ternyata Domi malah lebih dulu sampai, karena ternyata ketika dia lewat, Edo dan Ghorby yang lebih dulu berjalan masih tidur :D Setelah  melewati savana ini, savana di balik bukit sudah merupakan Bulak Peperangan, dan ternyata, berapa lama perjalanan yang harus ditempuh, gaes?
o   Penggik – Bulak Peperangan       : 2,5 jam à bukan 25 menit, hoax deh yang di catper itu :p
Di Bulak Peperangan kami masak nasgor, tidur-tidur siang, baru jalan lagi.
Perjalanan diawali dengan melangkahi pohon besar yang tumbang menghalangi jalur. Kami menuju savana luas di dengan lebih dulu naik bukit di depan. Di savana ini, akan dijumpai Gupak Menjangan, artinya Bekas Kijang, karena ada kolam sepanjang tanah rendah di sisi kiri jalan setapak yang terisi air saat musim hujan, tapi kalau musim kemarau seperti waktu itu ya zonk, hanya tanah becek aja, hahaha... Ada juga Gupak Macan yang seharusnya ada di hutan di sisi kanan jalur, tapi tak juga kami temukan, rasanya mungkin sejenis Gupak Menjangan.
Selepas savana, kita disambut tanjakan lagi melipir sisi bukit ini untuk kemudian menuju pinggir bukit di depan. Yahh.. panas-panas meriah lah..karena pepohonan sudah habis dan vegetasi sudah berganti perdu dan beberapa cantigi saja. Di ujung bukit di depan, jalan naik lagi, sampai di sisi teratas kita akan menjumpai batu-batu kerakal berserakan dan beberapa disusun di antara cantigi-cantigi kering. Puncak sudah terlihat jelas dari sini. Ini Pasar Dieng, legendanya kalau malam di sini ada pesta para makhluk dunia lain. Jangan menuju puncak tapi ikuti jalan setapak sesuai arah panah pada tanah. Kita akan melewati Pasar Dieng lalu masuk ke hamparan ilalang, melewati tanjakan dengan rumah botol (karena memang tersusun dari botol-botol bekas) agak jauh di kanan, dan di ujung sana Warung Mbok Yem yang legendaris.
o   Pos 5 – Hargo Dalem                       : 2-3 jam
bulak peperangan

Ø  16 Mei:
o   pagi kami muncak, untuk yang mampu bangun mengejar sunrise, untuk yang tidak boleh bangun agak siang untuk muncak :D
o   Hargo Dalem – Hargo Dumilah    : 10-20 menit
o   Dari camp di Hargo Dalem, kami turun lewat Cemoro Sewu sehingga melewati Sendang Drajat  dahulu, baru turun ke Pos 4, 3, 2, 1, dan akhirnya tiba di Gerbang Cemoro Sewu saat Magrib. Dari gerbang Cemoro Sewu, kami carter angkot ke Sarangan,
o   malam menginap di Domus Mariae di Sarangan
Ø  17 Mei: carter angkot ke terminal Maospati, lanjut bus – bungurasih

Comments