Pendakian Gunung Muria Puncak NatasAngin via Rahtawu

Pendakian Gunung Muria kali ini dimulai dari kota kami masing-masing yaitu:
Surabaya
Malang
Pasuruan
Lamongan
bertemunya ya di dalam bus menuju ke Kudus, hehe...
Jadi teman-teman dari Malang dan Pasuruan berkumpul di teminal Bungurasih Surabaya untuk naik bus bersama ke kota Kudus (bus jururan Surabaya - Semarang). Rencana awalnya, kami bertemu di terminal kota Kudus dengan 2 teman dari Lamongan. Tak disangka, ternyata bus yang kami naiki dari Bungurasih, mengangkut 2 teman dari Lamongan juga, hahaha...

Tiba di terminal Kudus pukul 5 pagi membuat kami seperti orang ngelindur, belum genap nyawa, karena sepanjang perjalanan dalam bus juga tak bisa tidur, teman-teman pasti paham lah bagaimana cara mengemudi supir bus dengan trek panjang :D
Terminal Kudus juga masih sangat sepi. Untungnya kami diturunkan di luar terminal sehingga kami langsung bisa bertanya kepada 2 bapak baik yang ada di depan terminal.
Gunung Muria yang kami maksud ternyata bisa mengandung 2 tafsir tempat jika ditanyakan jalur angkotnya. Gunung Muria sendiri membuat sopir angkot menangkap tempat yang dimaksud adalah Gunung Muria tempat Sunan Muria dimakamkan, yang menjadi tempat ziarah di Kudus, tetapi bukan merupakan jalur pendakian. Gunung Muria yang kami maksud, ternyata disebut Gunung Rahtawu dalam istilah umum para sopir angkot. Jadi, ke sanalah kami, dengan carter angkot pada pagi hari itu, seharga 250.000 sampai di titik awal pendakian, begitu perjanjiannya. Sekitar 1,5 jam perjalanan, mobil mulai batuk-batuk. Menurut info pak sopir, biasanya mobil ini kuat nanjak, entah mengapa pagi ini aneh, maka turunlah kami di Gedog - semacam terminal kecil angkutan pedesaan - untuk oper ke angkot lain yang lebih baik jalannya.
Selepas terminal Gedog, jalan makin menanjak namun kadang landai dan berkelok-kelok sepanjang tikungan pegunungan Muria. Pemandangan indah relief pegunungan sudah nampak di depan mata. Akhirnya, kami tiba di rumah bertuliskan Petilasan Abiyasa. Ini aneh, karena letaknya di tengah rute jalan dan bukan di ujung serta pada jalur datar yang tentu saja masih banyak rumah dan jalan lain di atasnya. Kami merasa ada yang salah. Maka ketika seorang bapak muncul di dekat petilasan tersebut, kami buru-buru bertanya. Benar kecurigaan kami: bukan rumah ini yang merupakan titik awal pendakian. Jalur yang kami ambil salah, seharusnya kami ambil arah naik ketika menjumpai pertigaan terakhir sebelum sampai di jalan ini. Jadi kami putar balik, lalu mengikuti arah yang ditunjukkan Bapak tadi, dengan menambah ongkos kepada Pak Sopir transferan Gedog -karena ternyata info yang diterima dari sopir pertama salah-. Titik awal pendakian kami dari warung entog Mbah Ngimin, persis di samping Air Terjun Jodo. Nahhh.. ini baru benar..


Bangun kepagian dan kurang tidur membuat beberapa teman langsung lapar. Makanan pun langsung dipesan. Beberapa bungkus kami pesan juga untuk bekal naik. Rencananya, kami hanya akan tektok naik karena toh perjalanan muncak tidak lama, hanya 2-3 jam kalau menurut catper-catper yang kami baca. Barang-barang yang tidak perlu kami tinggalkan di bawah, termasuk tenda dan makanan yang memerlukan air untuk memasaknya. Kami hanya membawa 3 bungkus nasi ayam, kompor, nesting, dan snack. Air tentu saja, karena tidak ada info sumber air di Pertapaan Abiyoso. Flysheet untuk darurat hujan, jas hujan, dan 3 sleeping bag.

Pukul 7 kami rencanakan berangkat naik, tetapi hujan mengguyur cukup deras membuat kami mengurungkan niat dahulu, kami tunggu sampai agak reda. Akhirnya, setelah naik dan turun curah hujan di tempat itu, kami putuskan pukul 9.30 mulai pendakian. Naik sedikit dari parkiran ternyata sudah pos 1, hanya tepat di atas lesehan mbah Ngimin ini :D Maka kami berdoa bersama dahulu untuk keselamatan perjalanan ini, baru melanjutkan berjalan. Gerimis masih mengguyur tipis. Kami lanjutkan berjalan pelan pada jalan semen yang nampak masih baru dan berwarna putih. Anehnya, licin, kakak... padahal ini naik, bagaimana kalau turun? Ah tak bisa dibayangkan, pikirkan saja dahulu bagaimana menahan kaki yang menjejak naik ini supaya tidak tergelincir turun. Kata teman-teman sih, kemungkinan besar adonan semen kurang tepat komposisinya - bisa terlalu banyak kapurnya atau terlalu cepat disiram air setelah dicor - yang menyebabkannya jadi selicin ini. Sepertinya memang benar, karena ketika jalan semen warna putih ini habis lalu memasuki jalan semen yang nampak lebih tua dan sudah rusak atau berlumut di beberapa bagiannya, jalannya tidak lagi selicin pada semen putih - tentu saja dengan catatan: jangan menginjak semen yang berlumut - hahaha...
pos 2

50 menit kemudian, kami tiba di pos 2. Pos 2 berupa gubug kecil di tepi sungai kecil. Gubugnya sudah reyot dan beberapa atap serta bangkunya sudah lepas, namun masih bisa untuk kami ber6 duduk berteduh ketika hujan mengguyur lagi. Puas bermain air dan menunggu hujan, kami melanjutkan perjalanan ke pos 3.
Tak lama, 30 menit kemudian, kami telah tiba di pos 3. Pos ini sangat menyenangkan, ada warung yang buka dan menyediakan nasi, mie instant, serta minuman. Beberapa bangku bambu dan bale kecil disediakan di sini. berhentilah kami dan berbincang-bincang dengan Ibu pemilik warung. Ibu ini tidak tidur di sini, beliau datang setiap pagi lalu pulang saat sore. Rumahnya di kampung di sekitar pegunungan ini. Jadi, setiap hari naik dan turun gunung hanya untuk berjualan di warung ini, satu-satunya warung yang buka setiap hari. Warung-warung lain di pertapaan Abiyasa atas tidak buka pada hari biasa, hanya buka pada hari besar pasaran orang Jawa di mana banyak orang nglaku naik untuk bertapa.
ibu nya malu difoto katanyaa :p

Perjalanan dari pos 3 ke pos 4 merupakan jalur terpanjang. Kami tempuh dalam 1 jam 20 menit, tetnut sambil foto-foto dan break setiap habis melalui tanjakan yaa.. hahahaa.. Beberapa pendaki yang turun sempat berpapasan dengan kami di jalur ini, setelah sejak pos 1 kami belum berpapasan denan pendaki lain. Pos 4 berupa tanah datar di samping punggungan -sehingga terlindung dari angin- dengan atap seng. Cukup untuk mendirikan 2 tenda kapasitas 4 orang. Mengapa harus mendirikan tenda? Karena terlindung dari angin tetapi tidak terlindung dari air, hahahaa... Dinding belakang shelter ini mengalirkan air yang cukup stabil dan berhasil membasahi lebih dari setengah dari area lantai shelter. Ada semacam tandon air kecil di samping tulisan pos 4, dannn sebuah kolam tandon besar di ujung pos 4. Kolam penampungan ini diberi nama Sendang Suci, jadi kita harus menjaga kebersihan area ini, tidak untuk mencuci peralatan masak, apalagi untuk mandi. Kami putuskan makan siang di sini karena waktu sudah menujukkan pukul 12.55. Kami buka 2 bungkus nasi ayam, sisanya kami simpan untuk makan malam kalau terpaksa kami harus menginap karena sampai sesiang ini, cuaca masih juga mendung.
om ik mengambil air dari Sendang Suci

Pos 5 atau pertapaan Abiyasa tidak jauh ternyata, hanya 15 menit perjalanan, namun..elevasinya cukup membuat ngos-ngosan. Gapura pertapaan menyambut dengan ramah dan hamparan pelataran pertapaan seakan menyapa kami dengan tawaran tuan rumah yang sangat menyenangkan untuk berbaring. Ada banyak gubug di area ini, namun semua terkunci.
Yang tidak terkunci hanya mushola. Pertapaan Eyang Abiyoso sendiri terkunci, sedangkan pertapaan Eyang Pulosoro terbuka tanpa pintu sehingga membuat area nya dingin. Kami putuskan untuk menaruh barang di mushola dahulu. Pilihan untuk menginap masih kami pertimbangkan, mengingat waktu itu masih belum jam 2 sehingga sebenarnya masih nutut untuk muncak lalu turun malam, namun mendung dan kabut masih tetap saja menggelayut. Kami mulai menyebar, melihat dan mengecek berbagai kemungkinan. Cek jalur naga, cek jalur bebek, cek camping area. Kami berembuk lagi sambil berhitung. Perjalanan melalui jalur naga memakan waktu sekitar 2 jam kalau kata catper, artinya untuk PP sekitar 4 jam, tanpa halangan. Kiri kanan jalur adalah jurang maka dipastikan bebas kabut, atau kalaupun sampai di puncak, view nya tetap zonk.. Jalur bebek melewati 2 sungai, namun kami belum cek di mana ujungnya. Suara sekelompok pendaki yang naik sebelum kami pagi tadi terdengar dari ujung sungai ke-2, sepertinya jalur bebek ini juga berujung di puncak, meskipun belum pasti. Akhirnya kami putuskan untuk menunda muncak, daripada bahaya meuncak di tengah kabut atau kemalamam saat turun, toh kami tidak membawa tenda.

Malam itu, kami tidur di mushola. Dan karena tadi kami berpencar, kami menemukan kran air, toilet, dan bahkan setandan pisang di sisi sungai. Beruntung aku membawa kompor dan nesting, sehingga setandan pisang rebus bisa untuk mengganjal perut malam ini.
Aku mulai menjerang air, dengan pisang-pisang yang sudah terpotong di dalamnya. Lama sudah, namun belum juga nampak pisang melunak. Akhirnya, aku ambil sebuah, lalu aku potong. Kecurigaanku benar, ini pisang kluthuk, hahahahaaaa.... pantas saja getahnya luar biasa banyak. Pupus sudah harapan kami menyantap pisang rebus malam itu. Maka, untuk mengganjal perut, kami habiskan sisa nasi bungkus lalu berbincang sambil menatap bintang di langit yang mulai cerah, juga cahaya lampu-lampu kota yang nampak di kejauhan. Indahh.... meskipun kami harus melihat sambil menepuk sana sini karena nyamuk dan banyaknya tomcat serta uler gagak.
Tidur kami malam itu penuh dengan pertikaian, berebutan sleeing bag dan flysheet :D :D
aku tiduran di pelataran pertapaan Eyang Abiyoso setelah turun dari muncak :p

Pagi berikutnya, kami mulai berangkat pukul 6.45, tidak mengejar sunrise di puncak memang karena sangat berbahaya melalui jalur naga dalam gelap, jadi sengaja kami tunggu sampai terang dahulu. Toh ada juga sekelompok mbak-mbak yang ngeyel naik sebelum hari terang, dan ternyata juga tak lama setelah kami jalan bertemu kami di jalur.
15 menit berjalan, kami menjumpai beberapa nisan dengan papan petunjuk bertulis "Petilasan Eyang Pikulan Narada". Area ini ternyata memang area petilasan, yang oleh penduduk disebut sebagai "Petilasan Eyang", dan beberapa shelter serta gubug terkunci. Naik sedikit, ada petilasan Ir. Soekarno. Rupanya dahulu Bung Karno suka menepi ke sini juga, seperti Petilasan Eyang di Pertapaan Indrokilo Gunung Ringgit.
petilasan Ir. Soekarno

Setelah berjalan melipir selama 10 menit, kami tiba di puncak bayangan. Pemandangan dari sini sangat bagus, ngarai di bawah terlihat jelas, dan 2 puncak di atas juga, hahaaa... puncak sebenarnya yang mana sih...jangan-jangan setelah puncak ke-2 pun masih ada puncak lagi, ouuu my...
puncak bayangan

Yah, dan benarlahh.. masih banyak puncak, dan jalan terus mendaki, bahkan merayap ada beberapa titik. Pada batu besar yang sempat viral di medsos ketika memanjatnya, kami melipir lewat sisi kiri, dan ternyataaa..longsor. Bahaya sekali, karena kalau arah turun nanti, kita bisa saja terperosok terus ke bawah mengingat jalurnya pasir labir yang sangat mudah lepas.
50 menit dari puncak bayangan, kami tiba di puncak Natas Angin. Yayyyyy...
puncak natas angin
Dari Puncak Natas Angin, masih terlihat puncak lain dari pegunungan Muria. Ada puncak di ujung saja yang untuk mencapainya, kami harus turun dulu punggungan ini lalu naik lagi ke puncak sana, hahaha... Makasih dehh.. nest time kali yaa :p

Kami bertemu 3 mas pendaki yang kemarin pagi naik sebelum kami. Mereka ngecamp di sini dengan sebuah tenda. Anginnya? Jangan ditanyaa...
Dan ternyata mereka naik lewat jalur bebek, bisaaa..

puncak tugu gunung muria

Memang, ada banyak puncak di Muria
Puncak Tugu adalah salah satunya, lokasinya dekat dengan puncak Natas Angin dan arah melalui jalur bebek. Iya, bebek adus kali, 2 kali tepatnya, hahaha..
Jalur bebek ini juga merupakan jalur tembusan dengan jalur dari Jepara.
pertemuan jalur bebek dengan jalur dari Jepara
.
.
writer: Instagram @silvanarw
.
.
#pendakisemaksemak #pendakisantai #pendakiselow #pertapaanabiyoso #gunungmuria #gunungmuriakudus #puncaknatasangin #jelajahmuria #puncaktugu #desarahtawu #desarahtawukudus #pejalancantik #pejalansantai #pendakiperempuan #pendakicantik #perempuangunung #perempuanpendaki # #jalanjalankudus #explorekudus #jelajahkudus #natasangin #jalurnaga #jalurbebek #dragontrack #exploregunung #destinasinusantara #instamountain #instagunung #jelajahpendaki #unbanhiker

Comments