Akhirnya selesai juga membaca buku ini..
Semua anak Indonesia merasa tahu apa itu Borobudur. Tapi sesungguhnya Borobudur mengajari kita bahwa jauh lebih banyak yang tidak kita ketahui tentang dia daripada yang kita tahu. Kutipan ini sungguh menampar kita -anak-anak Indonesia- yang merasa tahu banyak dan terjebak pada keriuhan wisata Borobudur daripada arti dari keberadaan Borobudur itu sendiri.
Sudah lama belinya, dipinjam-pinjam teman, sampai akhirnya hilang dan harus beli lagi. Padahal, aku sendiri belum pernah selesai benar sih membaca buku ini 😅 Setiap kali membaca, selalu terbentur kesibukan sehingga tertunda. Dorongan kuat untuk membaca lagi setelah selesai membaca Maya beberapa waktu lalu.
Beli yang ke-2 kalinya, tak mau ku lewatkan lagi untuk menyelesaikan buku ini. Mulai semua dari awal lagi dan akhirnya selesai dalam 2 hari, thx to the holiday ðŸ¤
Semua anak Indonesia merasa tahu apa itu Borobudur. Tapi sesungguhnya Borobudur mengajari kita bahwa jauh lebih banyak yang tidak kita ketahui tentang dia daripada yang kita tahu. Kutipan ini sungguh menampar kita -anak-anak Indonesia- yang merasa tahu banyak dan terjebak pada keriuhan wisata Borobudur daripada arti dari keberadaan Borobudur itu sendiri.
Ya, buku ini bercerita tentang Boroubudur, dari sudut pandang spiritual, psikoanalis, dan fisikanya. .
Dimulai dengan seorang perempuan. Lalita, perempuan indigo dalam arti harafiahnya. Seluruh tampilan dan yang melekat pada perempuan itu berwarna ungu, indigo. Hidungnya lancip, wajah menarik penuh riasan berwarna indigo, serta sepatu tumit tinggi yang ramping. Dalam usia sekitar 40an, Lalita masih sangat memikat dan pesona ratu nya memukau semua penonton. Kelompok perempuan cantik tak menyukainya karena selain ia menyita perhatian pria idaman, di balik kecantikannya Lalita sangat cerdas.
Lalita punya saudara lelaki -kalau tak boleh dikatakan kembaran- yang hidup terpisah dan tak menyukainya. Meski sama-sama masih menampilkan wajah indo, mereka tak pernah akur. Mereka berkebalikan satu sama lain, persis seperti nama mereka -2 kitab yang berhadap-hadapan pada relief Candi Borobudur- Lalitavistara dan Jatakamala.
Tokoh lain dalam novel ini adalah Yuda dan Parang Jati, sepasang sahabat. Mereka juga berkebalikan -Yuda bermata iblis sedangkan Parang Jati bermata malaikat- meskipun keduanya sama-sama tangkas dalam memanjat tebing dan sama-sama mencintai Marja. Marja adalah kekasih Yuda, sayangnya Parang Jati jadi sayang juga kepada Marja sejak perjalanan bersama mereka ke candi2 di Jawa Timur (baca buku Manjali dan Cakrabirawa ).
Konflik di antara mereka terjadi di seputaran Buku Indigo, buku tulisan Anshel - kakek Lalita - yang mengabadikan penelitian dan pemikirannya mengenai Borobudur. Diawali dari pencariannya setelah kematian sang ayah, ketertarikan pada musik gamelan, pergaulannya dengan Freud dan Carl Jung, hingga akhirnya bertemu dengan biksu Budha di Tibet yang menyarankannya untuk menjumpai mandala terbesar yang ada di bumi: Borobudur.
Beruntung, Anshel mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dalam pemugaran Candi Borobudur. Ia jadi punya waktu untuk menapaki jalan dari Candi Mendut, Candi Pawon, dan Borobudur yang ternyata terletak dalam 1 garis lurus. Ia juga mempelajari bahwa Borobudur adalah sebuah Mandala, mandala itu tidak digambar oleh manusia tetapi bagan yang digambar oleh semesta sendiri, pola yang dibentuk oleh gelombang yang nampak pada pelat Chladni. Borobudur adalah sebuah struktur makrokosmos maupun mikrokosmos.
"Sebagai orang asing, yang mengembara sangat jauh, hingga ke pulau ini, dan menemukan betapa yang ia cari sejak dulu ia dapatkan di sini. Betapa ia tergetar hingga menitikkan air mata karenanya. Tapi orang-orang pribumi, bahkan tinggal di gubug bambu dan buang air dalam sungai yang sama dengan tempat mereka cuci baju, melihat kuil itu sebagai tumpukan batu tak berharga, kecuali beberapa bongkahnya bisa dipakai untuk membuat bangunan lagi, atau ternyata orang kulit putih yang mau membeli patung-patungnya. Ia merasa muram. Seorang ahli bahasa Jawa malah mengatakan padanya bahwa ada sebuah buku dari abad ke-18 yang menggambarkan reruntuhan kuil itu sebagai tempat penuh kutukan. Betapa menyedihkan bahwa kerajaan Jawa sendiri lupa pada kejeniusan leluhur mereka." (Lalita halaman 147)
"Sebagai orang asing, yang mengembara sangat jauh, hingga ke pulau ini, dan menemukan betapa yang ia cari sejak dulu ia dapatkan di sini. Betapa ia tergetar hingga menitikkan air mata karenanya. Tapi orang-orang pribumi, bahkan tinggal di gubug bambu dan buang air dalam sungai yang sama dengan tempat mereka cuci baju, melihat kuil itu sebagai tumpukan batu tak berharga, kecuali beberapa bongkahnya bisa dipakai untuk membuat bangunan lagi, atau ternyata orang kulit putih yang mau membeli patung-patungnya. Ia merasa muram. Seorang ahli bahasa Jawa malah mengatakan padanya bahwa ada sebuah buku dari abad ke-18 yang menggambarkan reruntuhan kuil itu sebagai tempat penuh kutukan. Betapa menyedihkan bahwa kerajaan Jawa sendiri lupa pada kejeniusan leluhur mereka." (Lalita halaman 147)
Comments
Post a Comment
Please enter ur comment here...-.~