Pendakian Gunung Lawu via Singolangu

Pendakian Gunung Lawu via Singolangu sebenarnya adalah jalur pendakian lama, bahkan merupakan jalur napak tilas Parbu Brawijaya. Namun, lama sekali jalur ini tidak dibuka untuk umum. Beberapa kali pula para pemuda desa ini mencoba membuka kembali jalur dari desa menuju puncak tetapi selalu gagal, sampai seorang bapak di desa itu membantu proses pembuatan jalur dan akhirnya berhasil tembus ke puncak. Sayangnya, Bapak ini sudah meninggal beberapa waktu lalu..

Untuk mencapai basecamp Singolangu, teman-teman dapat naik:
  • Kereta sampai stasiun Magetan atau Madiun, lalu lanjut angkot ke terminal Maospati atauu..
  • Bus sampai terminal Madiun lanjut ke Maospati. Kalau dari Surabaya bisa naik bus Eka atau Mira atau Sumber Slamet. Waktu itu kami naik SUmber Slamet yang ekonomi dengan tarif 34.000/orang. Tapi..awas copett. Tas pinggang seorang teman kami sudah menjadi korbannya: sobek bekas goresan cutter. 
  • dari terminal Maospati bisa tunggu angkot ke Sarangan atau carter mobil ke basecamp. Waktu itu kami carter dengan ongkos 250.000 sekali jalan. Mobil yang dipakai adalah kijang tipe lamaa...
Pendakian Gunung Lawu via Singolangu dimulai dari gerbang ini. 
Sebelumnya, kita wajib registrasi di pos perijinan yang berjarak sekitar 30 meter sebelum gerbang ini, di sisi kanan jalan. Tiket per orang 15.000, di luar parkir kendaraan (jika membawa motor atau mobil sendiri).
Dari gerbang ini, jalan menanjak tipis-tipis melewati jalan lebar berbatu makadam. Lebarnya bisa lah untuk lewat mobil. 
Sampai di percabangan pertama, pilih jalan ke kanan ke arah bawah. Ada petunjuknya, jangan khawatir. Lalu di percabangan berikutnya pilih tanjakan ke kiri, setelah itu kita akan melewati sebuah jembatan lebar seperti ini. 
Lalu mulai memasukii hutan pinus yang tertata rapi. Jalannya naik tipis-tipis terus, dan ada beberapa yang lumayan nanjak di beberapa titik.

Sekitar 50 menit jalan santai, kita akan sampai tiba di bangunan seperti ini. Ini area camping ground kiteran. Ada sebuah shelter besar dan 3 ruang kamar mandi. Bagi yang ingin santai saja, bisa camping ceria di sini. Jalanan di depannya masih bisa dilalui sepeda-sepeda downhill. 
View di sini adalah 2 bukit di seberang Lawu, kalau tidak salah namanya Bukit Pundak Tengen. 
Dari Camping ground Kiteran, jalan masih berupa jalan tanah di antara hutan pinus lalu mulai masuk hutan hujan tropis, sampai kita tiba di pos 1 -Kerun-kerun. Konon, kerun-kerun artinya gapura, karena dari sekitar pos 1 ini kita baru masuk ke hutan hujan tropis. Butuh sekitar 30 menit perjalanan.
Dari pos 1, perjalanan ke pos 2 lebih jauh. Di awal perjalanan, ada cabang ke kiri dengan penanda police line di sisi kanannya; ini adalah jalur gowes yang tembus sampai ke Penekan. Kita ikut jalur yang lurus. 
Dalam 1 jam 20 menit, kita mulai berjalan menyeberang punggungan sebelah, melewati 2 tanjakan dan turunan di pinggiran tebing, lalu masuk ke area Jomblang Gludeg -jurang dengan batu-batu besar di dasarnya dan aliran air kecil di bawahnya - menyeberang jembatan bambu. 15 menit dari Jomblang Gludeg, kita sampai di Watu Lapak. 
Watu Lapak adalah satu dari situs Prabu Brawijaya yang ditemukan di jalur pendakian Singolangu ini. Bentuknya seperti telapak kaki manusia dalam ukuran besar dan posisi tegak. Sayang, lumut kerak dan lumut mulai menumbuhi permukaan batu situs ini sehingga perlu diwaspadai kalau ada relief yang mungkin tererus hilang. Kami beristirahat sejenak di area Watu Lapak karena tempatnya relatif luas dan datar. 
40 menit perjalanan dari Watu Lapak, kami tiba di Pos 2. Pos ini berupa dataran panjang dengan shelter di sisi kiri, 2 undak tanah lapang yang cukup untuk masing-masing 2 tenda, dan jalan yang lumayan lebar di sisi depannya. 
Kalau kita ikuti petunjuk Sumber Banyu Urip 150m, kita akan berjalan ke arah kanan yang turun perlahan, namun cukup jauh. Di ujung turunan ada percabangan ke arah kiri dan kanan. Ke arah kiri, kita akan langsung melihat pipa-pipa putih di Sumber bawah, tapi sangat curam. Ke arah kanan jalannya memutar cukup jauh namun dijamin landai dan manusiawi :D Jadi, sepertinya nggak 150 meter sih ini kalau dari pos 2, lebihh...
Kami putuskan camp di sini dengan 2 tenda kapasitas 4 kami bentangkan pada undak teratas di sisi shelter panjang. Perbekalan dibongkar lalu kami mulai masak, untuk sore ini, malam, dan bekal summit esok pagi. 
Oiya, hujan bisa turun kapan saja di dalam hutan hujan tropis ya, maka selalu siapkan flysheet tambahan di atas tenda jika tenda teman-teman kurang valid terhadap hujan lebat. 
Perjalanan ke puncak kami awali pada sekitar pukul 7 hari berikutnya. Sangat kesiangan dari rencana awal sih, karena kami tak bisa tidur semalaman, saking berisiknya sebuah rombongan besar yang bicara keras-keras sampai jam 3 pagi di area pos 2 ini. 
Tapi baiklah, kami tetap harus muncak. Perjalanan tetap kami awali dengan doa, seperti biasanya. Sampah tissue-tissue basah bertebaran di sekitar jalur awal dari pos 2 ini, padahal sepanjang perjalanan dari basecamp menuju pos 2 sangat minim sampah. Gatal juga mata kami melihatnya, tapi kami tunda dulu jengkel kami sampai turun nanti. 
Perjalanan dalam hutan hujan tropis ini seharusnya tidak terlalu memakan tenaga, namun ternyata lumayan juga menanjaknya, sudah lebih tinggi elevasinya daripada sepanjang jalan dari basecamp menuju pos 2. 
15 menit dari pos 2, kami bertemu sebuah patok yang ditutup dan dipagari bambu-bambu, tak tahu persis apakah ini termasuk situs peninggalan Prabu Brawijaya atau patok biasa. 1 jam berjalan dari pos 2, kami break sebentar. Kebetulan tanahnya cukup luas dan datar, dan nampak bekas api unggun pula di sekitar tempat kami break. 
1jam 40 menit dari pos 2, kami tiba di Cemoro Lawang. Cemoro Lawang adalah sebuah pohon cemara dengan lubang besar di sisi bawahnya yang dikeramatkan oleh masyarakat. Dipercaya Cemoro Lawang adalah tempat berkumpulnya Prabu Brawijaya bersama patihnya.
Setelah Cemoro Lawang, vegetasi mulai berubah jadi ilalang dengan cemara di beberapa tempat saja. Lebih terik dan membakar energi, sih.. maka jalan mulai lebih lambat, hahaha... Ya benar saja, jalan kami amat lambat sampai-sampai hampir pukul 10 baru kami tiba di pos 3 -Cemaran. Yup, namanya Cemaran karena terletak di antara cemara-cemara. Ada sebuah shelter beratap di sini, namun tak sepanjang shelter di pos 2. Dataran camping ground nya yang jauh lebih luas daripada pos 2. Sebuah lembaran plastik berukuran sekitar 1x1m dibentangkan di samping shelter untuk menadah air hujan, namun sayangnya malah jadi keruh dan hijau.
Dari pos Cemaran ke Pos 4, kita harus melalui Tanjakan Penggik yang terkenal itu. 20 menit dari pos 3, kita sampai di awal Tanjakan. Mendadak lapar menyerang. Yup.. pastikan sudah makan sebelum melewati tanjakan ini sebab naiknya tanpa ampun, teman..
 
Tanjakan dengan elevasi sekitar 45 derajat dan panjang 500 meter ini memaksa kita untuk berulang kali berhenti di tepi jalur untuk menarik napas dan berteduh di antara terik mentari yang nanar menyorot. Di beberapa titik nampak dataran sebesar 1 tenda kapasitas 4, mungkin untuk tempat camp pendaki yang kelelahan di tengah tanjakan. Di akhir Tanjakan Penggik, kita disambut papan bertuliskan "Taman Edelweis", 1 jam 40 menit dari pos 3. 
Pos 4 - Taman Edelweis - tidak cukup luas untuk bisa menampung banyak tenda. Mungkin hanya bisa untuk sekitar 8 tenda kapasitas 4, ditambah sebuah shelter berukuran 2x3 m. 
Di belakang shelter, jalan menuju pos selanjutnya sudah menanti. Tak lama kami berhenti di sini, hanya memotong buah pear dan apel saja, lalu lanjut. 
Tepat jam 12 kami meninggalkan pos 4, menuju pos selanjutnya. 18 menit kemudian sampai di sebuah pohon mati di antara bukit savana. Sebuah papan bertuliskan "Bukit Ilalang" terpasang di situ. 2 buah tenda didirikan di samping pohon mati ini. Kalau malam, pasti Milky Way bisa terlihat jelas dari sini. 
16 menit dari Bukit Ilalang, sebuah pohon kering di antara gerumbul pohon edelweis nampak di tengah-tengah savana yang kami lewati. Di depannya, sebuah shelter bertuliskan Pos 5 Cokro Paningalan, berdiri teduh. Buru-buru kami menyerbu shelter, sebab panas matahari di ubun-ubun pada pukul 12.36 ini sungguh membakar. Kami lapar lagi tapi malas makan, pinginnya makan buah atau yang segar-segar gitu.. Dan cukup senang juga karena ternyata perjalan dari pos 4 ke pos 5 tak sejauh yang tertulis di peta: 45 menit yang tertulis di peta, tapi kami sudah sampai di pos 5 dalam waktu 30 menit saja, wowww..
Kami mulai berjalan lagi sekitar 10 menit kemudian. Jalan kini menanjak lagi, lebih kejam, di antara perdu-perdu dan panas terik. Dan... 40 menit berjalan, kami bertemu sebuah bendera pada dataran di sisi kiri jalan, dan papan yang tertempel di pohon di antara edelweis di sisi kanan jalan, bertuliskan "Cokro Paningalan". Whattt??? Jadi yang tadi ada shelter itu bukan pos 5? Ini nih yang pos 5 sebenarnya, ya ampunn.. pantas saja tadi kok perjalanan lebih cepat daripada yang tertulis di peta (a.a)
Pos COkro Paningalan ini tak homey untuk mendirikan tenda, hanya cukup untuk 2 tenda saja dan terletak persis di kemiringan, jadi angin dari lembah pasti kencang. Tapi kalau untuk sekedar foto-foto sih bagus, gugusan awan sudah terlihat di sini. 
Oke, perjalanan berikutnya masih harus menuju puncak punggungan ini, lalu mungkin di baliknya yang merupakan Sendang Drajat. Hmmm... jalan kami naik teruss, teruss.. di antara hamparan savana tak habis-habis, sampai bosan. Ternyata sampai di atas melipir ke kanan, datar sedikit, naik lagi lemipir, naik lagi, nggak sampai-sampai di punggungan. Hampir 1 jam perjalanan sudah, dan teman-teman mulai putus asa. Jam sudah menunjukkan pukul 14.26 dan masih saja savana naik. Akhirnya kami tetapkan batas waktu, pukul setengah 3 sampai Sendang Drajat, lalu yang tidak mampu melanjutkan ke puncak bisa istirahat di sendang saja. Rayuan2 dikeluarkan lagi untuk memotivasi teman-teman yang sudah loyo, padahal ya sama-sama nggak taunya Sendang Drajat berapa lama lagi, kan belum ada yang sudah pernah lewat jalur ini dari antara kami, hahahahaa..
Untunglah, akhirnya, pukul 14.36 kami tiba di sebuah dataran di belakang shelter dengan dinding seng. Dan ternyata setelah kami memutar dinding seng, ini adalah warung Mbok To, tepat di depan Sendang Drajat, Fiuuu.. Leganya tak terkira. 
Kami mampir sebentar di warung lalu melanjutkan perjalan muncak. Yah, dan begitulah, setiap melihat tanjakan agak serem, aku lapar lagi :D Kami memotong jalan lewat menuju puncak, dan 40 menit kemudian baru tiba di puncak, super sloww.. Bisa pangling gitu sama jalan menuju puncak (terakhir ke sini 2-15 lalu, via cetho lintas cemoro sewu) sebab sekarang banyak tenda yang berdiri di sekitar puncak, woww..
Jadi, inilah ringkasan perjalanan kami:
  • gapura - camping ground kiteran: 50 menit
  • camping ground - pos 1:              30 menit
  • pos 1 - jomblang gludeg:             1 jam 20 menit
  • jomlang gludeg - watu lapak:       15 menit
  • watu lapak - pos 2:                     40 menit
  • pos 2 - cemoro lawang:               1 jam 40 menit
  • cemoro lawang - pos 3:               1,5 jam
  • pos 3 - tanjakan penggik:            20 menit
  • tanjakan penggik - pos 4:            1 jam 20 menit
  • pos 4 - bukit ilalang:                   18 menit
  • bukit ilalang - edelweis family:     16 menit
  • edelweis family - cokro paningalan:        40 menit
  • cokro paningalan - sendang drajat:        1 jam 5 menit
  • sendang drajat - puncak hargo dumilah: 40 menit



Comments