Gejolak
penolakan besar-besaran akan berita akan naiknya harga BBM 1 April 2012 lalu
sempat menjadi keresahan nasional, baik bagi rakyat maupun pemerintah, takut
akan kenaikan semua biaya hidup maupun takut akan adanya demo besar-besaran
yang –mungkin- berujung pada penggulingan kekuasaan. Tentu Anda tahu siapa yang
sangat sensitive dengan kemungkinan penggulingan seperti yang terjadi tahun
1998 lalu dan tentu Anda juga tahu siapa yang pertama kali akan
dikambinghitamkan kalau hal itu sampai terjadi. Lepas dari tuding menuding
serta keparnoan pihak-pihak tertentu,
saya ingin sedikit mencoba mengutarakan fakta yang saya dapat dari media
televisi, tontonan public, salah satu dari sekian macam media massa yang saat
ini juga sudah tidak netral lagi, dan mulai disetir oleh berbagai kepentingan
politik. Sebenarnya, saya sangat menyayangkan jam-jam tayang acara bermutu yang
menyuguhkan fakta, seperti yang sempat saya tonton, di saat masyarakat sudah
tak melek, alias terlelap, saking malamnya jam tayang acara-acara tersebut
padahal kita sangat mengharapkan masyarakat melek akan fakta dan kebenaran
(sementara jam-jam prime /prime time justru masyarakat disuguhi tontonan
semacam sinetron dan reality show-yang notabene sudah tidak real- yang sangat
kurang mendidik, menurut saya).
Acara
pertama yang saya tonton adalah Minggu Malam bersama Slamet Raharjo di TVRI.
Bertindak sebagai moderator, budayawan Slamet Raharjo membahas masalah kenaikan
BBM dan menghadirkan pengamat perminyakan nasional Dr. Kurtubi, budayawan
Arswendo Atmowiloto, wakil sekretaris umum APINDO Franky Sibarani, dan seorang
anggota Komisi III DPR RI. Dr. Kurtubi menjelaskan bahwa masalah kenaikan harga
minyak internasional bisa tidak harus dibarengi dengan kenaikan harga BBM di
Indonesia. Dia menyebutkan 5 koreksi terhadap kebobrokan pengolahan minyak di Indonesia .
Acara ditutup dengan sebuah puisi cinta yang buta dengan analogi kecintaan
pemerintah pada negeri ini, bila memang buta, tentu bisa memecahkan apa pun
demi negeri yang dicinta. Jadi sebenarnya, seberapa cinta pemerintah kita pada
negeri ini?
Acara
berikutnya adalah Republik BBM di Indosiar -membahas masalah sama- dengan
mengutarakan kata kunci “keberpihakan”
dan menampilkan tokoh pilihan Walikota Solo Pak Jokowi (Joko Widodo). Pak
Jokowi adalah seorang walikota yang melakukan banyak kebijakan radikal. Namanya
pertama kali saya dengar saat media local menyebut-nyebutnya sebagai tokoh yang
berhasil memindahkan para PKL tanpa kerusuhan dan aksi demonstrasi, hanya
dengan dialog dan arak-arakan pemindahan lokasi, saat itu dibandingkan langsung
dengan kasus pemindahan Pasar Keputran Surabaya yang sampai memakan
korban. Dalam acara ini, saya baru tahu
bahwa demi mempertahankan ekonomi
kerakyatan yang dipegangnya sebagai cita-cita bersama bangsa yang tertuang
dalam Pancasila, ia berani hanya mengijinkan 1 dari 8 mall yang mengajukan
permohonan ijin pendirian di kota Solo, 1 dari 20 hypermaket yang mengajukan
permohonan, 12 dari 180 minimarket yang mengajukan ijin, supaya 43 pasar
tradisional -yang telah direnovasinya menjadi pasar tradisional yang bersih dan
menarik- tetap bisa hidup. Ia juga mewajibkan pegawai pemerintahan kota Solo untuk memakai
mobil dinas merk ESEMKA, hasil assembling para siswa SMK Solo, demi mendorong
pemasaran industry kecil dan menengah di kotanya. Belum lagi, kartu pendidikan gratis dengan tingkat
silver dan gold serta kartu kesehatan gratis
dengan tingkat silver, gold, dan premium-bagi yang paling tidak mampu.
Tiap tahun, dilakukan verifikasi ulang data-data masyarakat miskin tersebut
oleh pemerintah daerah dan beliau langsung. Ditanya bagaimana caranya dia bisa
kreatif begitu, Pak Jokowi menjawab santai bahwa asal kita berada di tengah
rakyat, kita pasti akan dengan sendirinya tau kebutuhan mereka.
Kemudian saya mulai googling dan mendapatkan
sejumlah fakta besar dari dokumentasi
youtube untuk acara Sarasehan Anak Negeri MetroTV, Maret 2012, mengusung judul Runtuhnya Kedaulatan Energi. Rupanya, sebelum judul ini, pada bulan Februari 2012, sarasehan telah mengangkat judul Menyelamatkan Negeri Autopilot dan karena banyak masalah dalam sarasehan tersebut yang ternyata mengarah pada kedaulatan energy, maka pada bulan berikutnya, demikianlah judul sarasehan yang diangkat. Konsep dari sarasehan ini adalah meng-cross check antara data hasil temuan para pengamat dengan fakta dari orang-orang yang duduk di pemerintahan terkait. Notulensi isi selengkapnya dari sarasehan ini dapat dilihat pada http://silvanarw.blogspot.com/2012/04/sarasehan-anak-negeri-metrotv-februari.html atau dari dokumen youtube pada http://www.youtube.com/watch?v=cDktAWwbzCg.
youtube untuk acara Sarasehan Anak Negeri MetroTV, Maret 2012, mengusung judul Runtuhnya Kedaulatan Energi. Rupanya, sebelum judul ini, pada bulan Februari 2012, sarasehan telah mengangkat judul Menyelamatkan Negeri Autopilot dan karena banyak masalah dalam sarasehan tersebut yang ternyata mengarah pada kedaulatan energy, maka pada bulan berikutnya, demikianlah judul sarasehan yang diangkat. Konsep dari sarasehan ini adalah meng-cross check antara data hasil temuan para pengamat dengan fakta dari orang-orang yang duduk di pemerintahan terkait. Notulensi isi selengkapnya dari sarasehan ini dapat dilihat pada http://silvanarw.blogspot.com/2012/04/sarasehan-anak-negeri-metrotv-februari.html atau dari dokumen youtube pada http://www.youtube.com/watch?v=cDktAWwbzCg.
Jadi, kalau boleh saya paparkan kronologi
hingga terjadi kenaikan harga BBM adalah sebagai berikut:
a)
Bertentangan dengan konstitusi
Penghilangan kedaulatan Negara karena system yang dipakai
adalah B to G (business to government) dengan BPMigas sebagai pihak pemerintah,
yang langsung berkontrak dengan perusahaan asing; tidak lagi B to B (business
to business) seperti dulu saat PERTAMINA bertransaksi dengan perusahaan asing
tetapi Negara tetap memiliki kedaulatan sebagai Negara, di atas kekuasaan
arbitrase.
b)
Terbukti merugikan Negara secara financial
c)
Pengelolaan migas Indonesia menjadi paling buruk di
Asia & Oceania menurut Petroleum Survey tahun 2011 (urutan ke 114 dari 143
negara penghasil minyak, masih di bawah Timor Leste)
Penjelasan untuk point b dan c:
Penghasilan minyak dari tahun ke tahun anjlok sedangkan cost
recovery (biaya produksi yang dikeluarkan oleh investor asing dan setiap tahun
diklaimkan kepada pemerintah) tiap tahun naik padahal semua mesin sudah dibayar
lunas oleh uang Negara pada tahun-tahun yang lalu. Bagaimana bisa naik tiap
tahun? Karena di mark-up berapa pun, cost recovery itu tak akan ketahuan, mengingat
BP MIgas adalah lembaga badan hukum Negara yang didesain tanpa komisaris,
sehingga tak ada majelis wali amanat atau pengontrol, padahal dana yang
dijalankan mencapai 100triliyun rupiah setiap tahunnya. (Pembandingnya adalah
rector universitas yang selalu dikontrol oleh Dewan komisaris padahal dana yang
dipegang tidak sampai 10 triliyun rupiah per tahun)
Di samping itu, karena UU migas itu pula, pembelian minyak tak
bisa langsung ke produsen, harus lewat pihak ke-3 melalui tender, sehingga
lagi-lagi ada dana yang seharusnya bisa diefisienkan.
3. Pada
tanggal 15 Des 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Kelistrikan no. 20
tahun 2002
4. Satu
bulan kemudian, membatalkan pasal 28 ayat 2 UU Migas no. 22 tahun 2001 dengan
revisi: harga harus ditentukan oleh pemerintah dan bukan diserahkan pada
mekanisme pasar.
5. Ironisnya,
kemudian muncul rancangan strategis BPH Migas dan ESDM (blueprint BPHMigas 2004
– 2020) yang isinya memberlakukan mekanisme pasar bebas pada sector energy
paling lambat 2010.
6. Disusul
UU no. 30 tahun 2007 pasal 7 yang isinya:
Di belakang semua UU tersebut, ada dokumen-dokumen berikut:
Selain itu, UU no. 25 tahun 2007 juga
membuka peluang yang sebesar-besarnya pada investor asing dengan masa kontrak
sampai 95tahun dan maíz dapat diperpanjang. UU no 25 tahun 1999 menyebutkan
bahwa 15% kekayaan alam minyak bumi untuk daerah, sedangkan 85% untuk pemerintah
pusat, Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan
dalam negeri.
Dengan kata lain, pemerintah menempatkan sumber energy Negara sebagai komoditas komersial (energy digunakan untk kepentingan ekonomi) dan bukan sebagai komoditas strategis (energy ditempatkan pada posisi strategis sesuai amanat pasal 33 UUD 1945). Paradigma yang salah mengenai energy ini ditanamkan sehingga rakyat berpikir bahwa untuk mendapatkan energy pasti tidak bisa murah.
--> harga energy
ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian dan penyediaan dana subsidi untuk
masyarakat
7. UU no. 30 tahun 2009 tentang
ketenagalistrikan, yang tadinya sudah direvisi malah kemudian bermetamorfosis. UU
ini berisi:
à Harga
energy tunduk pada harga keekonomian, pemilik tidak boleh menjadi pemain.Senada
juga dengan UU Panas Bumi dan UU Minerba yang isinya bahwa pemerintah berperan
sebagai regulator, pengambil kebijakan, dan tak lebih tak kurang sebagai
penguasa pertambangan; dengan kata lain pemilik tidak boleh menjadi pemain atau
“lepaskan sector ini kepada investor
asing untuk dieksplorasi dan dieksploitasi”, atau dalam bahasa hukumnya:
“mari bangun system investasi yang sehat sehingga investor asing dapat
berinvestasi”
Di belakang semua UU tersebut, ada dokumen-dokumen berikut:
1. Letter
of Intent: intinya tentang liberalisasi sector migas
2. Radiogram
dari Washington
17 November 2000 kepada Duta Besar Amerika Serikat di
Indonesia membahas tentang:
a.
Pertamina dan korupsi
b.
PLN
c.
Mengatur kedudukan PERTAMINA
d.
Menyusun draft RUU migas
a.
Pentingnya pengurangan subsidi
b. Membantu beberapa universitas dan LSM agar
menerima pencabutan subsidi dan masyarakat tidak marah
c. Mengatur kerjasama dengan IMF dan ADB
untuk melepas sector migas menurut mekanisme pasar bebas
4. Pinjaman
dari IMF senilai 400juta US dollar dengan perintah:
a.
Cabut subsidi migas dan pangan
b. Berikan bantuan agar masyarakat tidak
marah
5. Berikutnya,
pada Desember 2003, sebuah pinjaman dengan no 4712 DES IND ,
yang berlaku sampai 2008, juga mengamanatkan perintah yang sama persis.
6. Dalam
dokumen dari National Intelegence Council (NIC) pada November 2008 jelas
diminta:
à Cabut segera subsidi untuk energy dan pangan dan segera lakkan perbaikan
perundang-undangan.
Dengan kata lain, pemerintah menempatkan sumber energy Negara sebagai komoditas komersial (energy digunakan untk kepentingan ekonomi) dan bukan sebagai komoditas strategis (energy ditempatkan pada posisi strategis sesuai amanat pasal 33 UUD 1945). Paradigma yang salah mengenai energy ini ditanamkan sehingga rakyat berpikir bahwa untuk mendapatkan energy pasti tidak bisa murah.
Kalau pada jaman Pak Karno tahun 1957
Indonesia bisa menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, mengapa sekarang
justru kebalikannya. Mengapa pemimpin kita tidak memodifikasi kontrak dengan
Freeport sehingga orang-orang Papua tidak seperti anak ayam mati di lumbung
padi? Atau kontrak dengan Chevron, Exxon, dan Shell pada bidang pertambangan,
kontrak dengan perusahaan-perusahaan sawit dan kehutanan lain, kontrak dengan
perusahaan pengolah air minum seperti Danone-Aqua, dan lain-lain, sehingga
Indonesia bisa menjadi tuan di negaranya sendiri, memiliki kedaulatan atas
kekayaan alamnya untuk kesejahteraan rakyatnya seperti amanat UUD 1945 pasal 33,
terutama ayat 3?
Belajar sejarah bagi kita tentu sangat penting,
supaya kita selalu ingat bahwa yang pertama kali menjajah Indonesia bukan
Negara lain tetapi korporasi asing, yaitu VOC. Dulu kita mati-matian mengusir
VOC tapi sekarang malah Negara kita seakan gandrung
korporasi asing, tidak bisa hidup tanpa korporasi asing, sehingga seakan-akan,
maaf.. melacurkan kekayaan alam untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yang
notabene bukan kepentingan nasional. Kita menjual kekayaan alam kita dengan
harga murah dan mengijinkan eksplorasi, bahkan eksploitasi, dalam jangka waktu
lama, lalu mendapatkan pinjaman dengan kewajiban melakukan titipan kebijakan pasar internasional dan pemberian bantuan, inilah
yang disebut-sebut sebagai neoliberalisme,
penjajahan bentuk baru. Alasan yang kerap disampaikan adalah karena kita lemah
dalan teknologi dan tenaga ahli, sayang sekali. Padahal, sebenarnya kita punya
banyak tenaga ahli, hanya saja mereka banyak yang justru bekerja di luar
negeri. Mengapa? Karena mereka tak cukup mendapat bayaran yang sepadan sehingga
mereka memilih bekerja di luar. Bandingkan dengan Korea Selatan yang baru merdeka dari Amerika Serikat
belum se-lama kemerdekaan kita. Mereka memilih mempekerjakan tenaga ahli mereka
yang pulang dari belajar di luar negeri dengan membayar gaji yang tinggi, yang
notabene nasionalisme-nya tinggi, daripada mendatangkan tenaga ahli dari luar
negeri.
Jadi, untuk apa kita merdeka kalau
kemudian kita justru jual murah untuk mengundang neoliberalisme menjajah kita
lagi? Akan jadi apa Negara kita 10 tahun ke depan jika kita, pemilik kekayaan
alam, hanya bisa menjadi konsumen/pasar untuk kekayaan alam kita sendiri?
Bandingkan dengan Brasil yang dipimpin
seorang perempuan, yang justru berani mengatakan bahwa semua perusahaan yang
berdiri di tanah Brasil adalah milik Brasil. Mengapa bisa demikian? Karena,
selain Negara berdaulat, system yang dipakai adalah business to business (B to B) dengan pemerintah sebagai pengontrol, bukan business to government (B to G) seperti
yang kita lakukan; pemimpin Negara juga berani berpihak –sekali lagi keberpihakan-
kepada rakyat. Bandingkan dengan pemimpin kota seperti Pak Jokowi, yang berani
menolak ijin mall-mall dan pasar kapitalis lain (dengan resiko tidak mendapat upeti perijinan) untuk tetap menghidupi
43 pasar tradisionalnya. Bandingkan dengan swadesia’la Gandhi atau quotation
bung Karno, tetap memegang Trisakti: Kemandirian politik, Kemandirian ekonomi,
Kemandirian budaya. Dan menurut Effendi Gazali, inilah 3 karakter pemimpin
skala internasional:
1. Berani
datang ke forum-forum diskusi untuk membela rakyat
2. Berani
terhadap pemimpin lain, bukan justru berani terhadap rakyatnya
3. Berani
berinvestasi untuk rakyat, contohnya: dalam kasus listrik prabayar dan
converter minyak ke gas, seharusnya pemerintah dulu yang pakai.. bukan
rakyatnya yang disuruh ikut listrik prabayar, masa rakyat yang lebih dulu
berinvestasi?
Gejolak sebenarnya dipicu bukan oleh
kenaikan harga semata-mata, tetapi lebih karena mossi tak percaya kepada
pemerintah yang telah terlalu mengecewakan rakyat. Jadi, perbaiki dulu semua
kebobrokan di dalam pemerintahan, tangkap dan berantas tikus-tikus pengeruk
harta Negara (karena alasan-alasan untuk perbaikan infrastruktur tak akan
pernah terlaksana dan tak pernah ada wujud nyatanya kalau uang kenaikan harga
hanya masuk – lagi-lagi- ke kantong para tikus), kembalikan UU pada posisi yang
sebenarnya, dan tunjukkan karakter pemimpin yang bersih dan berani berpihak kepada rakyat; baru rakyat
akan mau dengan lega hati menerima kenaikan harga. Saya percaya, rakyat
sekarang sebenarnya adalah orang-orang yang nasionalis dan cerdas.
beberapa artikel bernada serupa:
Comments
Post a Comment
Please enter ur comment here...-.~