Gunung Sarahklopo adalah 1 dari 8 bukit kecil di sekeliling puncak utama Gunung Penanggungan. Ketinggian Gunung Sarahklopo tak jauh beda dengan Gunung Kemuncup di postingan ku yang lain.
Untuk sampai ke puncak Gunung Sarahklopo, kita bisa lewat basecamp pendakian Gunung Penanggungan via Kedungudi. Basecampnya buka setiap hari dan ada warungnya juga. Di warung tersebut ada mie instant, gorengan (ubi & pohung goreng), teh, kopu, dan aneka camilan lainnya.
Tiket masuk per orang 10.000, parkir motor 10.000, dan parkir mobil 20.000. Kita juga diminta mencatatkan nama di buku tamu pos beserta puncak tujuannya (puncak Penanggungan, Puncak Bekel, atau Puncak Sarahklopo) sehingga bisa dicek siapa yang belum turun. Dari pos perijinan, kita akan dibekali peta perjalanan.
Dibandingkan pendakian pertama kami lewat jalur ini, trek perjalanan kini sudah jauh lebih tertata. Plakat-plakat petunjuk di tiap tikungan atau percabangan sudah dipasang dengan jelas dan pos dengan shelternya sudah dibuat.
Untuk pos 1 -seperti pada pos perijinan Gunung Penanggungan yang lain- merupakan pos perijinan itu sendiri. Pos 2 berupa sebuah rumah dengan teras dan ruang 2 kamar di dalamnya. Jalan menuju pos 2 hanya menanjak tipis-tipis melewati jalan makadam selebar sebuah mobil. Pada pendakian pertama kami lewat sini, rumah ini juga sudah ada, hanya saja tanpa plakat penanda "POS 2". Dari pos 2, kita ambil arah ke kanan untuk menuju ke Puncak Penanggungan & Puncak Sarahklopo, sedangkan arah lurus untuk menuju Puncak Bekel.
Dari pos 2 ke pos 3 baru jalan mulai menanjak. Vegetasinya diawali dengan perkebunan karet, lalu masuk hutan perdu, beberapa pohon berkayu, dan pohon-pohon pisang. Pos 3 sendiri terletak di dalam kebun pisang, berupa sebuah shelter tak berdinding dengan tempat duduk di 3 sisi nya terbuat dari bambu. Atap shelter ini terbuat dari ilalang sehingga saat hujan deras seperti kemarin, guyuran air hujan masih menerobos masuk, meskipun tak sederas di luar shelter.
Pos 3 adalah pos terakhir. Selepas pos 3, kita akan menjumpai situs purbakala pertama yaitu situs watu pecah / watu lumpang / watu pecah. Bentuknya berupa batu setengah oval yang bagian tengahnya berlubang bulat, persis seperti lumpang (batu untuk menumbuk padi pada jaman dahulu). Berjalan naik sedikit, kita akan berjumpa dengan kumpulan beberapa batu -yang saat kami pertama ke sini diberi pagar mengelilinginya- namun kini malah jadi tempat duduk. 5 menit dari kumpulan batu ini, kita akan sampai di candi pertama yaitu Candi Carik. Dari candi ini, puncak Bekel terlihat sangat menggoda, gagah menyapa. Bendera pada Candi Naga di sana seakan memanggil-manggil kami mendekat, hahaha...
Candi berikutnya adalah Candi Lurah. Ya, seperti yang aku analogikan dalam catper perjalanan pertama kami, rumah Lurah pasti lebih besar daripada rumah Carik. 2 buah tenda didirikan di sisi kanan pelataran candi, kami memang tak berniat berlama-lama juga sih, karena langit sudah makin gelap.
Candi berikutnya adalah Candi Siwa. Oya, sebelum sampai candi ini, kita akan bertemu percabangan ke kiri yang bisa mengantarkan kita menuju Gunung Bekel lewat Candi Shinta dan Candi Gentong terlebih dahulu dan melewati kali mati, di mana ada Watu Talang.
Candi Siwa waktu itu dipakai camp sebuah tenda single layer, saat hujan turun deras nanti, para penghuninya menutup bagian puncak tenda dengan jas hujan mereka, pasti dingin sekali, uhhh... View dari Candi Siwa masih sama, silakan cek langsung ke sini ya, gan..
Candi Guru juga sedang dipakai camp kali ini, 2 buah tenda baru warna orange yang sangat eye cathcing. Kami break makan siang di sini, lalu melanjutkan naik.
5 menit dari Candi Guru, kami bertemu perempatan di mana: lurus ke arah puncak Gunung Penanggungan, kiri ke arah Goa baru, kanan ke arah Sarahklopo. Kami pilih ke kanan. Trek ini terlihat masih sangat baru. Di antara rumpun kaliandra yang bekas-bekas tebasan buka jalurnya masih terhampar di jalur dan lebar jalur yang masih sempit, kami berjalan cepat-cepat, di samping karena mendung yang semakin tebal, kabut yang makin mengejar, juga karena jalur yang relatif datar, bahkan di beberapa titik turun dan di beberapa titik menyeberangi sungai mati. Ada 2 sungai mati yang cukup besar, selebar sekitar 1 meter, dan ada beberapa sungai kering musiman yang kami lewati. Jadi, trek menuju puncak ini dibuat landai memutari lereng Gunung Penanggungan untuk tiba di bukit sebelahnya. Jalurnya melipir dan berakhir di savana. Tiba di dataran savana, jalur berbelok ke kanan. Di titik ini cukup rawan nyasar karena ada sisa jalur lurus dan bendera di savana di kanan tak terlihat sama sekali karena tertutup kabut yang tebal.
Tiba di puncak Gunung Sarahklopo sesaat sebelum kabut tebal menutup view di bawah batu besar, yaitu sebuah bukit kecil dengan bendera di puncaknya. Penasaran sebetulnya, tapi terlalu terjal dan kabut tebal sudah menutup, sehingga kuurungkan niatku. Oya, dilarang berkemah di bawah pohon cemara besar yang ada di belakang plakat nama ini ya, sangat berbahaya, karena bisa saja pohon tersebut roboh setiap saat apalagi saat angin kencang dan cuaca seperti sekarang. Kemarin saat kami lewat saja, suara angin yang menderu menyerbu daun-daunnya terdengar sangat kencang. Bisa diukur kekuatan angin yang menerpanya.
Pukul 3 sore kami putuskan turun. Gerimis -ataukah embun dari kabut tebal- sudah mulai turun. Tak ayal, sampai di sungai mati ke-2, hujan turun deras. Jas hujan dan topi kami kenakan untuk menahan terpaan air dari atas. Berjalan di tepian jurang yang vegetasinya ilalang begini bikin ngeri, kalau salah melangkah sedikit ya wasalam, brrr... jadi kami bersegera dan begitu tiba di vegetasi kaliandra, ngeri kami mulai berkurang. Sekarang PR nya tinggal fokus pada jalanan batu dan tanah yang turun terus sampai ke basecamp. Total waktu perjalanan kami naik-turun dengan break seringkali dan makan siang adalah 3 jam 45 menit.
Lain waktu, kami akan kembali untuk melihat bukit di bawah Sarahklopo, Goa baru, dan tembusan ke Gunung Bekel, hehehe..
Comments
Post a Comment
Please enter ur comment here...-.~